
“Jangan pernah menyalahkan latar berlakang keluarga sebagai alasan untuk tidak maju”. (Marwah Daud Ibrahim)
Kata-kata ini terngiang-ngiang terus dikepala saya semenjak pertama kali saya mendengarnya. Saya berhutang budi pada Bu Marwah Daud Ibrahim, karenanya saya menuliskan pengalaman saya bertemu beliau sekitar 17 tahun yang lalu. Mungkin beliau sudah lupa dengan saya tapi inspirasi dari beliau meluaskan pandangan saya tentang kehidupan, tentang cita-cita dan tentang tak ada yang tak mungkin.
***
1996. Jelang libur, saya tak ingat persis bulannya, tapi bukan libur panjang. Sebuah undangan Pesantren Kilat tiba di sekolah saya. Nama kegiatannya Pesantren Unggulan Terpadu yang diselenggarakan oleh Yayasan Orang Tua Bimbingan Terpadu (Orbit), ICMI. Penggagasnya Marwah Daud Ibrahim dan diselenggarakan di Pesantren Datuk Sulaiman Palopo. Saya yakin semua sekolah di Sulawesi Selatan diundang untuk mengikuti kegiatan tersebut, dan saya berkeyakinan kegiatan ini pasti sangat-sangat bagus, karena itu saya akan mengikutinya. Sebagai ketua Osis, saya mewakili sekolah untuk acara ini.
Palopo adalah Ibukota Kabupaten Luwu (saat itu sebelum pemekaran). Jarak Palopo dan Sidrap (kampung saya) sekitar 3 jam perjalanan darat. Kepada sopir bis yang saya tumpangi, bapak ibu saya berpesan ” paleppangngi kasi’ okko pesantrengnge purana Palopo Kota” (tolong “diturunkan” di Pesantren setelah Kota Palopo).
Sayapun berangkat seorang diri ke pesantren tersebut. Ini akan menjadi pengalaman baru yang menarik. Saya sebenarnya selalu mengalami hambatan psikologis disebuah acara atau tempat yang baru tanpa ada seorangpun yang saya kenal. Tapi untunglah diusia belia, saat masih kelas 5 SD saya sudah diharuskan berbaur dengan orang-orang lain dan orang yang lebih tua ketika mengikuti Jambore Nasional di Cibubur Jakarta Tahun 1991. (Untuk Jambore ini, akan saya cerita sendiri nanti)
Saya tiba di Palopo di siang hari, mendaftar dan bersiap untuk pembukaan esok harinya. Setelah berkenalan dengan para peserta, saya baru sadar sayalah satu-satunya peserta yang tidak berdarah Luwu, sebagian besar peserta adalah dari sekolah di Luwu dan sisanya beberapa SMA dari Makassar yang ternyata orang Palopo juga. Tapi saya tak berkecil hati, mungkin kali ini saya akan menjadi satu-satunya Remaja luar Palopo yang beruntung mengikuti kegiatan ini.
Acara dibuka oleh Pangdam VII Wirabuana waktu itu, Mayjend Agum Gumelar. Bupati Luwu saat itu adalah Opu Sidik, merupakan senior dari Pak Agum di Akmil. Pak Agum berpidato dengan hebat dan menggugah, untuk pertama kalinya dalam hidup saya melihat langsung orang berpidato dengan intonasi dan pemilihan kata yang baik serta dengan isi yang padat. Kelak orang ini tidak cukup jadi Pangdam, menurut saya.
Acara Pesantren kilat yang diselenggarakan Orbit tersebut menghadirkan pemateri nasional seperti Marwah Daud Ibrahim, Alita Marsyanti dan Hotman Z Arifin. Ada cita-cita besar dari penggagas acara ini untuk menghadirkan harapan bagi para remaja untuk berjuang meraih cita-cita.
Diacara inilah awal “perkenalan” saya dengan Bu Marwah. Selama ini saya hanya melihatnya di TV. Waktu itu, beliau adalah salah satu bintang paling terang di parlemen yang dikuasai Golkar. Kecerdasan memang terpancar dari suaranya yang berat dan susunan kalimatnya yang terstruktur.
Bu Marwah mengajak kami untuk mengeluarkan selembar kertas, membuat kotak berisi tahun dan mengisinya, apa yang akan kami lakukan 5, 10, 20, 30 tahun yang akan datang. Kami diajar untuk merencanakan masa depan. Kelak Bu Marwah mematenkan metode ini dan memberi merek Mengelola Hidup dan Merencanakan Masa Depan (MHMMD).
Bu Marwah bercerita, dulu waktu beliau baru memulai kuliahnya di Amerika beliau melakukan hal yang serupa. Merancang dan merencanakan apa yang akan dilakukannya hingga kemudian beliau menyelesaikan S3. Saya terkesan dengan cara Bu Marwah menyemangati kami. Beliau selalu bilang “jangan pernah menyalahkan latar belakang keluarga”. Kamu yang terlahir bukan dari keluarga mampu, punya peluang yang sama dengan yang lain untuk meraih masa depan. Saya tak bisa membantahnya, karena beliau memakai contoh dirinya sendiri.
Sejak saat pelatihan itu, saya bertekad untuk merencanakan hidup dengan baik. Menuliskan cita-cita dan merancang hal-hal yang mendukung cita-cita tersebut. Saya kemudian menuliskan lebih dari 50 mimpi yang saya inginkan dalam hidup ini, entah kenapa seperti kata Bu Marwah dengan menuliskan cita-cita, jalan akan terbuka dan banyak hal terduga akan mendukung. Salah satu cita-cita saya dalam list tersebut yang saya tuliskan 10 tahun yang lampau adalah menonton di Stadion Old Trafford, dan ternyata telah terlaksana. Gambaran menulis cita-cita ini kedengaran absurd, tapi kekuatan cita-cita ini juga yang digambarkan dengan indah oleh Paulo Coelho dalam novel the alchemist, yang bahkan angin dan pasirpun akan mendukung kalau kita berani bercita-cita.
Setelah pelatihan di Palopo saya berkirim surat kepada Bu Marwah dengan melampirkan foto saya dengan beliau saat acara berlangsung. Alamat rumahnya di Bintaro memang diberikan kepada para peserta. Namun surat saya tak dibalas.
Hingga suatu kesempatan, sebuah telpon dari kantor bupati berdering disekolah. Saya disuruh ke rumah jabatan bupati sore itu juga, ada pertemuan yang harus saya ikuti, kata guru SMA saya. Ketika tiba di rumah jabatan bupati, saya segera disuruh ke ruang pertemuan. Saya melihat Bu Marwah sedang memberikan ceramah kepada para peserta, yang waktu itu adalah para kader Golkar sekabupaten. Saya melangkah dengan perlahan masuk ke arena. Seorang mentor di Pesantren kilat, Kak Salma, ternyata yang menelpon ke sekolah agar saya dihadirkan ke sana atas permintaan Bu Marwah. Saya melangkah mendekat, Bu Marwah menghentikan ceramahnya dan berkata “Oh, ini Ahmad ya?”
Selesai acara, saya ikut Bu Marwah dan Kak Salma ke rumah salah seorang bekas teman kuliah Bu Marwah di Unhas untuk makan malam. Selesai makan malam, saya diantar oleh Bu Marwah ke rumah saya di Kadidi, beliau akan ke Tellang-tellang waktu itu. Di Mobil, saya diperkenalkan dengan seseorang yang kemudian menjadi presiden salah satu partai terkenal di Indonesia saat ini. “Ini Anis Matta, Alumni Pesantren Gombara’ baru pulang dari Mesir”. Saya tak bisa melupakan “perkenalan” ini.
Setelah saya menjadi peserta di Palopo. Saya kemudian menjadi Panitia untuk acara yang serupa di Makassar, dan kali ini pematerinya lebih mentereng. Acara dibuka secara resmi oleh Ibu Hasry Ainun Habiebie dan dihadiri oleh Gubernur dan para pembesar di Sulsel. Acara tersebut menjadi headline di koran setempat, tidak hanya karena kehadiran Bu Ainun tapi karena mati lampu terjadi saat para penggede tersebut berada di Aula untuk acara pembukaan.
Pada liburan panjang tahun 1997. Orbit menyelenggarakan acara study tour dari Makassar-Surabaya-Yogyakarta-Bandung-Jakarta. Bu Marwah adalah tokoh sentral acara ini, dan dibantu oleh para pelajar di Makassar, Mahasiswa asal Luwu dan Mahasiswa Sinjai. Idenya adalah membawa anak-anak pelajar ini melihat secara langsung Industri-industri strategis seperti PT PAL dan IPTN, Perguruan Tinggi seperti Unair, UGM, Akabri Magelang, dan ITB. Mengunjungi Gedung DPR/MPR, ke media TV dan beramah tamah dengan pemilik ANTV Abu Rizal Bakrie, ramah-tamah ke rumah menteri seperti pak Marie Muhammad, ke kolam ikan pak Haryanto Danutirto di Subang, mengunjugi KH Zainuddin MZ dan mendapat oleh-oleh Salam Mie serta ke Pangkalan Taksi Citra yang dimiliki Ibu Mubah Kahar Muang.
Pengalaman paling mengesankan mengunjungi tempat-tempat tersebut adalah ke gedung DPR/MPR. Waktu itu Pak Harto masih presiden dan Pak Habiebie wakilnya. Pak Harto masih sangat berkuasa, dan kami atas power dari pak Habiebie sebagai ketua ICMI diizinkan untuk masuk ke Ruang Paripurna tempat yang sebenarnya tidak diperuntukkan untuk kunjungan. Kami boleh berfoto ditempat duduk pak Harto menunggu sebelum membacakan laporan pertanggungjawaban dan mencoba-coba podiumnya untuk berfoto. Kata petugas, baru kali ini ada rombongan yang boleh sebebas ini di ruangan ini. Kesan lainnya adalah saat ramah tamah di rumah Pak Marie Muhammad yang sederhana. Waktu itu hujan deras, dan atap rumah pak Marie bocor dengan deras pula, air yang masuk kerumah ditampung dengan ember, dan pak Menteri santai-santai saja. Dari jalan-jalan ini saya juga tahu bahwa para penggede ini adalah orang biasa juga yang berteman dengan banyak orang, dan mereka adalah orang-orang yang membuka diri.
Selama di Jakarta kami homestay di Rumah Bu Marwah di Bintaro. Rumah luas ini berhiaskan buku-buku dimana-mana. Salah satu kamar di lantai atas rumah itu bahkan isinya buku semua. Tak ada hiasan berarti selain rak buku yang tersebar di lantai satu rumahnya. Rumah bu Marwah lebih mirip perpustakaan di banding rumah tempat tinggal. Satu-satunya TV dirumah tersebut tak pernah dinyalakan, beliau memang membatasi diri dan anak-anaknya untuk menonton TV. Dalam tiga hari tinggal dirumahnya kami banyak belajar dan mendapat dorongan dari Bu Marwah. Kata Bu Marwah, kalian sekolah aja di Jerman, biaya sekolah disana gratis, yang dibutuhkan adalah biaya hidup, untuk jaminan hidupnya untuk pembuktian Visa, nanti dari Orbit yang menggaransi, banyak orang/kelompok yang melakukan hal serupa. Sayang, krisis ekonomi yang menghantam Indonesia, meruntuhkan cita-cita ini.
Saat reformasi mulai bergulir, bu Marwah tersisih dari Golkar. Gerbong Pak Habiebie ludes dibabat Akbar Tanjung. Bu Marwah masih punya nama terang waktu itu, beliau menjadi calon Wapres Gusdur pada tahun 2004 yang merupakan calon dari Partai Kebangkitan Bangsa. Angin politik tak berpihak kepada beliau. Tapi hingga saat ini Bu Marwah masih berkeliling Indonesia menebarkan virus optimisme dan mendorong para anak muda bangsa untuk terus optimis dalam mengelola hidup dan merencanakan masa depannya.
***
Salam dari Edinburgh
Anda di Skotlandia ya? Sip. Moga sukses. Artikelnya tentang Yunda Marwah Daud Ibrahim sangat menarik. Saya termasuk salah satu pengagumnya. Yah, karna sama-sama berlatar Ilmu Komunikasi. Hehehe.
LikeLike
Iya mas dwiki, lagi sekolah disini, makasih udah berkunjung 🙂
LikeLike
Terimakasih informasinya gan http://bit.ly/K0msFy
LikeLike
massipa cappo. hoping so much you still remember me…
LikeLike