
Gigi BapakKalau ada tindakan Bapak yang paling disesalkan Mama’ saya, maka masuk dalam urutan teratasnya adalah ketika dia memutuskan mencabut seluruh giginya dan mengantinya dengan gigi palsu, padahal giginya sebagian besar masih bagus. Mama’ saya mengamuk, laki-laki tampan itu tiba-tiba kehilangan sebagian pesona setelah rahangnya mengendur akibat tak ada yang menopang. Padahal garis rahangnya yang simetris membuat beberapa orang membandingkannya dengan artis jaman dulu, entah siapa.
Sebenarnya kenaifan Bapak tidak hanya terkait giginya yang dia cabut karena rayuan seorang family yang memberinya diskon, dia pernah membeli sawah 1 hektar yang tak pernah dimilikinya, membeli beragam barang elektonik bekas karena rayuan teman dominonya, atau tak pernah menolak sales yang naik ke rumah. Setiap dia melakukan tindakan itu, Mama’ saya pasti muntab, tapi kami lebih sering tersenyum melihat tindakannya.
Dia memang begitu, tapi gigi ini adalah salah satu sumber omelan yang lama baru reda. Gigi bapak itu adalah teman saya selama menemaninya di Rumah sakit. Awal-awal dia minta giginya dibuka karena ternyata suplai oksigen membuat giginya kering, hingga susah dibuka.
Akhirnya saya pasangkan giginya hanya saat akan makan bubur, buah atau obat. Setiap selesai makan, giginya saya keluarkan, kemudian disimpan di sebuah mangkok berpenutup yang selalu harus diisi air. Gigi tersebut saya cuci, kemudian siap dipasang kembali setiap akan makan. Hingga kemudian di hari ke-6 dia tak bisa menahan giginya lagi, setiap saya pasangkan maka giginya akan jatuh lagi. Rahangnya tak bisa menahan gigi palsunya lagi.

Gigi tersebut tak pernah dipasang lagi setelahnya, pernah dia makan bubur, tapi buburnya saya encerkan. Setelahnya lagi bubur juga sudah tak mau beliau makan. Hanya air. Tapi kemudian airpun susah masuk, hanyak 2-3 sendok saja dia sudah menolak. Semangatnya naik saat akan dipindahkan ke RS Wahidin, dan sempat melambaikan tangan pada dokter, perawat dan keluarga yang mengantarkannya di gerbang RSUD.
Masih sempat saya kasih minum di perjalanan dari Pare2 ke Makassar, dalam goncangan ambulance yang melaju kencang, dan saya harap memang sekencang mungkin.
Saat akan masuk ke ruang IC RS Wahidin, giginya saya simpan dalam tas beserta mangkoknya. Dan saat almarhum berpulang, tas tersebut saya ambil dan masih saya temukan giginya di sana seperti sebelumnya.
Kemarin saya ambil giginya kembali, selain baju yang dipakainya saat di rumah sakit. Tak tega saya kubur atau buang giginya, saya alirkan di Sungai Tello, biarlah dia mengalir bersama kenangan bersama Bapak, mengalir jauh, menembus samudera.
Makassar, 24/08/2021