Puasa 19 Jam di Skotlandia

Oleh : Ahmad Amiruddin

@Central Mosque
@Central Mosque

Sehari-semalam hanya 24 jam, namun puasa di Inggris Raya bisa 19 jam, berarti 79% dari waktu sehari-semalam adalah menahan lapar. Kota Edinburgh di Skotlandia yang lebih ke utara tentu sedikit lebih lama puasanya dibanding London yang berada di Selatan.

Puasa tahun lalu dan tahun ini bertepatan dengan musim panas. Pada bulan-bulan Juni ke September, belahan bumi utara merasakan matahari lebih lama dibanding yang di khatulistiwa kayak kita ini, atau yang dibelahan bumi selatan kayak temen-temen di Ostrali atau New Zealand yang sedang dingin-dinginnya sekarang. Hal ini karena posisi bumi yang datar, eh maksud saya, yang miring dari porosnya.

Saat sekarang semakin ke utara artinya semakin lama matahari keliatan, dan semakin lama matahari keliatan maka semakin lama pula puasa itu dijalankan. Setahun lalu saya merasakan indahnya berpuasa 19 jam di Edinburgh. Matahari tak pernah benar-benar hilang dari cakrawala. Saat jam 12 tengah malam sekalipun, masih nampak garis-garis terang diufuk. Setahun lalu puasa dimulai pada tanggal 29 Juni 2014 sedangkan tahun ini dimulai pada tanggal 18 Juni 2015, waktunya sangat berdekatan dengan summer solstice yaitu waktu terlama siang hari, saat ini bumi berada pada maksimum sudut kemiringannya, waktunya adalah sekitar tanggal 21 Juni setiap tahunnya di belahan bumi utara.

Magrib di Edinburgh sekitar Pukul 22.00 dan Subuh Pukul 02.30, kalo dibanding-bandingkan dengan waktu puasa di Indonesia yang hanya 13 jam, lama puasa di Indonesia belum ada apa-apanya.

Ramadhan tahun lalu bertepatan dengan dua agenda penting, satunya yang penting (banget nih) adalah tahap akhir penyusunan disertasi (ato thesis-lah kalo disini) master saya, peristiwa penting kedua adalah perhelatan Piala Dunia di Brazil. Saya patut mengedepankan penyelesaian thesis karena teman-teman yang lain khususnya yang tidak melaksanakan eksprerimen di Lab sudah lama tancap gas, ada yang sudah mulai menulis, ada yang sudah setengahnya, dan ada yang sudah dua pertiga. Sementara saya? Tak sedikitpun yang sudah diketik, data-data masih harus di olah, dan beberapa percobaan masih harus dilaksanakan di Lab.

Tapi tentu saja hidup tak melulu harus di Lab, saya menyempatkan waktu menyaksikan beberapa pertandingan penting Piala Dunia khususnya kalo England yang main dan saat Semi Final dan Final. Pertandingan bola biasanya bertepatan dengan ngabuburit.

Karena maghrib sekitar jam 10pm, maka saya mengepaskan waktu pulang ke rumah dengan waktu maghrib. Lima belas menit sebelum buka, saya sudah mematikan komputer di Gedung Hugh Robson, mengepak catatan dan berangkat menuju Central Mosque untuk berbuka puasa. Jarak Meshid hanya 2 menit dari Gedung Hugh Robson karena terletak persis di seberang kompleks University of Edinburgh di George Square.

Jelang buka puasa jam 22.00, di Central Mosque telah dihampar kain hijau dengan korma dan susu segar diatasnya untuk membuka puasa. Sementara di luar pintu mesjid tersedia makanan terbungkus aluminium foil, nasi biryani dan chicken curry, sumbangan dari para jamaah.

Sebagai seorang mahasiswa kere yang juga kepala keluarga, saya berkewajiban membawakan rejeki ini juga ke rumah. Biasanya saya ambil dua sampai tiga bungkus untuk dinikmati bersama dengan anak istri di rumah. Tak semua jamaah mengambil jatah makanan ini. Mereka mengerti, mahasiswa fakir seperti saya jauh lebih memerlukan:).

Di rumah, istri saya berusaha berkreasi makanan khas kampung, kadang bikin pisang goreng dari sebiji pisang tanduk besar seharga 3pound dari Toko Bismillah dekat Mesjid. Kadang juga bikin kolak dari labu, karena harga labu yang murah, sayangnya harga kelapa santan agak mahal. Untuk sahur, kami biasanya makan ayam goreng yang dibeli dari Toko Bismillah juga, kalo lagi beruntung bisa makan sayur bening bayam yang sangat jarang ada.

Selama puasa aktifitas saya dikampus semakin intens, dua sampai tiga kali seminggu saya diskusi dengan supervisor. Kami biasanya diskusi sekitar jam 9 pagi di cafetaria. Saya akan duduk duluan 15 menit sambil memandangi laptop diselingi meminum ehh maksud saya mencium aroma kopi yang dihirup para mahasiswa sebelah meja.

Tak lama kemudian supervisor saya akan datang, langsung ke arah kasir, mengkode saya, mau pesan kopi? Yang saya jawab  sambil menggeleng. Supervisor akan membawa segelas kecil espresso hitam ke meja, asap tipisnya menari-nari, baunya menyeruak meninju ninju hidung dipagi yang segar.

“Do you want a cup of coffee?” Katanya
Sorry, i am fasting” sambil menunjuk perut saya, yang sudah 7 jam puasa di Jam 9 pagi itu.

“Oh, really, how many hours a day?”
“twenty hours” kataku

Dia geleng-geleng kepala sambil tersenyum, dia bertanya lagi berapa hari harus puasa, saya jawab sebulan.

‘You have to celebrate it, after finish a month of fasting, i will treat you a cup of coffee” katanya. Janji yang tak pernah saya tagih.

Karena Lahoratorium di Kampus Kings Building hanya sampai jam 5 sore, maka saya menghabiskan waktu hingga Lab benar-benar tutup. Setelahnya, naik Bus Lothian ke George Square. Karena summer adalah musim liburan (bagi mahasiswa lain), maka ongkos naik bis harus dibayar sendiri, tambahan ongkos lagi buat mahasiswa kere ini.

Di George Square saya biasa menghabiskan waktu hingga maghrib. Kadang pulang kerumah sehabis magrib dan menyantap hasil pembagian nasi biryani special dari Central Mosque. Kadang-kadang juga saya pulang jelang dinihari, hanya untuk membangunkan istri memasak makanan sahur dan tidur kembali selepas shalat subuh. Berangkat lagi ke lab sekitar jam 8 atau jam 9 pagi.

***

Meski terasa lama, puasa di negeri dengan cuaca dingin di Edinburgh ada enaknya juga. Matahari tak pernah benar-benar menyengat, suhu udara sekitar 10-17 derajat. Dingin dan tak menyebabkan dehidrasi cepat. Tapi karena ini summer godaannya berat men, apalagi summer di Edinburgh adalah musimnya liburan dan festival dimana-mana.

Mbak-mbak putih biasa berjemur bersama anjing pudel putihnya di halaman depan kampus George Square sekitar pukul 18.00, saat itu matahari masih terik. Sebagai makhluk normal, pemandangan kayak gini sungguh menguji iman. Kalau malam juga banyak acara-acara panggung musik, bahkan di depan Hugh Robson tempat biasa saya bersemedi ada panggung juga. Untung suaranya gak masuk ke dalam. Suara tilawah anak-anak khas Indonesia kalau Ramadhan tak akan terdengar disini.

Selain itu, gak ada ceritanya bahwa warung tutup pakai gorden, dan kantor buka lebih lambat dan tutup lebih cepat. Semua kegiatan berlangsung dengan normal. Tak ada tanda-tanda semarak ramadhan di negara William Wallace ini.

Meski dingin, tapi puasa 19 jam sangat menguras tenaga. Kadang-kadang kalau sudah pukul 18.00, ketika akan shalat ashar di masjid, langkah rasanya sudah gontai, cairan sudah habis, bahkan saya yang biasanya sering ke toilet kalau akan shalat kali ini langsung wudhu saja. Tak tersisa cairan untuk dikeluarkan. Hehehe.

Tapi meski demikian, ramadhan di Edinburgh adalah salah satu pengalaman puasa yang paling mengesankan dalam hidup saya.

Published by taroada

Engineer | Manunited Fans | Indonesia | Edinburgh

7 thoughts on “Puasa 19 Jam di Skotlandia

    1. Hahahaha…saya sudah baca tadi di blognya, saya punya kawan kayak Xin itu juga, asal China, dia ikut ke Mushollah hanya buat lihat orang shalat dan gerakan2nya, hehehe

      Like

Leave a comment

The Daily Post

The Art and Craft of Blogging

WordPress.com News

The latest news on WordPress.com and the WordPress community.

Dwiki Setiyawan's Blog

Pencerah Langit Pikiran

Tofan Fadriansyah

Just another WordPress.com weblog