Oleh Ahmad Amiruddin

Suatu hari, teman saya Morning- begitu kami memanggilnya- seorang mahasiswa asal China Daratan, menyampaikan kabar kalo ada kursus bahasa gratis bagi mahasiswa University of Edinburgh, namun harus mendaftar satu semester sebelumnya, dia bercerita sedang ikut kursus bahasa Inggris conversation.
Awalnya dia bersemangat untuk ikut kursus, tapi setelah hari pertama dia mulai kehilangan semangat, semua teman sekelasnya adalah orang China. Orang China di Scotland atau dimanapun ketika ketemu pasti akan lebih memilih berbahasa China (bukan cuma China sih, kita juga hehe), itu yang terjadi di kelas bahasa Morning, seperti juga terjadi di kelas kuliah kami, ketika Morning bertemu dengan teman-temannya se China daratan, dengan Jin, Vincent, atau Winny. Saya membayangkan bagaimana Morning berusaha melatih percakapan Bahasa Inggrisnya di Inggris tapi persis dengan caranya mempraktekkan bahasa Inggrisnya di Beijing.
Atas saran Morning, saya mendaftar kelas bahasa khusus untuk menulis di semester berikutnya. Menulis dalam bahasa Inggris bukanlah hal mudah. Meski nilai IELTS saya dalam written test adalah 7.0, dan ini adalah nilai yang tinggi (ihh sombong hehehe), namun saya tidak cukup pede untuk menulis panjang sebentuk thesis (disertasi kata orang2 UK).
Akhirnya saya mendaftar via web yang telah tersedia. Kursusnya sih sekali seminggu setiap hari Rabu selama 8 kali pertemuan. pesertanya juga tak banyak, slot yang tersedia kalo tak salah ingat hanya untuk 8 orang.
Pada pertemuan pertama, kami berkenalan dengan para peserta. Saya lebih beruntung dari Morning, teman kursus saya “hanya” 4 orang dari China, ke empat2nya adalah calon Guru Bahasa Inggris yang sedang mengambil master degree untuk Program TESOL (Teaching of English as a Second Language).
Ternyata dari 4 orang ini, hanya 3 yang terdaftar, 1 orang lagi hanya ikut temannya, katanya dia terlambat mendaftar. Oleh si Fasilitator, dia ditanya, namanya kok ndak ada di list, mbak-mbak dari China ini menjawab kalau dia sebenarnya pengen mendaftar, tapi sudah terlambat dan slot penuh dan dia meminta kebijaksanaan dibolehkan duduk untuk menyaksikan dan ikut belajar.
Om Fasilitator yang beraksen english, berusaha menampik dan mengusir secara halus-kemudian makin tegas, hingga si mbak tadi beranjak pergi dari tempat duduknya dan melambai pada temannya yang jadi peserta beneran.
Peserta lain adalah seorang pemuda amerika latin berbahasa asli spanyol, seorang lagi adalah Jerman yang sudah lulus S1 mechanical di Jerman tapi ngambil S1 lagi sipil di Edinburgh (gendeng nih anak), satunya lagi gadis blonde asal Spanyol dari jurusan yang saya lupa, pokoknya bukan anak Teknik. Peserta terakhir adalah seorang mahasiswa S3 asal Thailand, dia mahasiswa tahun ke-4 program S3 jurusan vetenary, raut mukanya tampak kusut, entah karena risetnya yang tak kelar-kelar atau jadwal kerja paruh waktunya yang dia cerita sangat menyita waktunya, satu hal yang pasti, bahasa Inggrisnya acakadut. Dia ditahun ke-4, dan saya sendiri ngeri membayangkan kemampuan bahasa Inggrisnya di sisa waktu studinya yang sangat mepet.
Lokasi program kursus ini berbeda gedung dengan tempat kuliah saya sehari-hari. Saya kuliah di Kings Building, letaknya agak dipinggiran, sedangkan tempat kursus ini di St Leonard Land, di City Centre, berdekatan dengan Scottish Parliament dan Holyrood Park.
Selama proses kursus berlangsung, saya yang paling rajin, selalu masuk kelas, sungguh sebuah prestasi anak Teknik yang jaman S1nya lebih sering main domino daripada masuk kelas. Teman saya yang rajin yang lain adalah si calon-calon master guru bahasa Inggris dari negeri komunis tadi.
Mereka para calon master guru bahasa inggris ini adalah calon pengajar anak2 komunis (ngeri nih, komunis). Mereka bersekolah di UK dengan biaya sendiri, tanpa beasiswa sedikitpun, mereka ini sebenarnya kaya banget untuk ukuran Indonesia, dan kaya aja untuk ukuran china :).
Teori konspirasi mengatakan, Jangan2 ini sudah diagendakan oleh para komunis untuk menginvasi negara-negara lainnya, dengan mengirim mahasiswanya untuk kuliah di luar negeri, dan memaksa mereka mengaku dengan biaya sendiri (konspirasi banget). Jangan-jangan para calon guru ini akan mengajar para calon tenaga kerja China yang akan di ekspor ke Luar Negeri. Jangan-jangan mereka ini yang akan dikirim ke Indonesia diantara 10 juta tenaga kerja aseng yang akan didatangkan Jokowi. Hehehe
Padahal, ini simple. Mereka, kawan dari China ini, persaingan kerja sangat ketat di negaranya, lapangan kerja tak mudah karena jumlah orang sudah sama dengan jumlah koloni rayap, miliaran men.
Untuk bersaing mereka harus sekolah lebih baik, lebih bermutu dan bisa jadi lebih jauh. Maka terdamparlah mereka di Edinburgh, negeri dieropa barat, tempatnya bahasa Inggris disemai dan disini merkea belajar bahasa Inggris untuk di ajarkan lagi kepada anak-anak komunis di China, mungkin di salah satu sekolah elit di China, tempat anak-anak penggede Partai Komunis di sekolahkan, eaaaa.
***
Di St. Leonard Land juga ada mushollah, luasnya sekira 3×3 meter dengan satu kran untuk berwudhu. Saya beberapa kali berjamaah dan bertemu mahasiswa (kalo boleh disebut mahasiswa) asal Iraq dan Saudi Arabia yang sudah setahun berada di Edinburgh untuk belajar bahasa Inggris. Hanya buat belajar bahasa inggris to’, dan setahun, bayangkan biayanya, kaya raya kawan-kawan ini.
Ketika memperkenalkan diri, kawan ini menjabat tangan saya dan dengan pede berkata
“I am scottish” dengan aksen yang dimirip-miripin scottish.
“Hahahaha No no no”, saya bilang, lu kira gue kagak tahu bedain aksen arab ama british.
Akhirnya dia cerita dia pernah ke Indonesia, dan bisa nebak kan dia pernah kemana?
Kemana lagi kalo bukan ke Puncak. 🙂