Rumah Perjuanganku, Rumah Pertamaku 

House key on keychain
Rumah Pertama (nationalmortgageprofessional.com)

“Sob, besok aku ke rumahmu ya, mau cari rumah buat dibeli.”

Begitu teman kantorku, Dani, menghubungiku hari itu. Saya masih tinggal di sebuah rumah kontrakan di sebuah kawasan di Bekasi. Sudah tahun kedua kami di sana, setelah sebelumnya tinggal tiga tahun di Tangerang, di sebuah rumah kontrakan juga. Peristiwa itu terjadi sekitar sepuluh tahun lalu.

Tak dinyana, momen itulah yang menjadi penanda awal saya memiliki rumah. Karena saya tak ingin mengecewakan teman, maka saya berkeliling mencarikan rumah yang yang siap dipasarkan di sekitar tempat tinggal saya.

Beberapa kompleks perumahan saya datangi. Ada tiga perumahan baru dekat tempat tinggal saya. Saya mengecek lokasinya bersama istri. Dia yang punya feeling lebih bagus dalam mencari rumah. Jiwa estetikanya jauh lebih baik dibanding saya yang biasanya tak pernah rapi.

Tiba di perumahan ketiga, kami melakukan pengecekan. Secara kriteria memenuhi selera istri saya, ada banyak unit baru saat itu dibangun. Kami mengobrol dengan bagian marketingnya. Istri sayapun merekomendasikan

“Ini saja rumah yang ditunjukkan besok buat Dani, bagus ini.”

Sampai di rumah, sambil membuka-buka flyer dari pengembang perumahan tersebut kamipun berdiskusi. Lokasinya sesuai dengan bayangan rumah ideal bagi istri saya. Jalanan depannya luas, sinar matahari cukup, tidak terlalu ramai dan ukurannya standar.

Kemudian, istri saya punya ide

“Bagaimana kalau kita beli di sana saja? Kita buat tanda jadi dulu.”

Dan pada saat mengantar teman melihat-lihat rumah, kamipun memutuskan untuk memberi tanda jadi, padahal tak punya cukup uang untuk uang muka keseluruhan.

Setelah tanda jadi itu, maka dimulailah proses mencari bank yang mau memberi kredit. Untuk mencari KPR, saya mendatangi banyak bank yang mau memberi pinjaman, tapi satu-satu menyerah memberi pinjaman kalau uang muka saya tak banyak. Mereka perlu jaminan saya bisa mencicil dengan baik.

Padahal saat itu saya sudah mulai bekerja sebagai Pegawai Negeri. Tapi tak banyak yang bersedia. Mungkin saat itu slip gaji saya tidak bankable. Akhirnya hanya satu bank yang bersedia, itupun dengan bunga yang jauh lebih tinggi dibanding yang lain.

Kami kemudian mengumpulkan recehan-recehan yang tersisa, mengeluarkan semua isi tabungan dan meminjam sama keluarga untuk membayar uang muka. Ternyata itupun tak cukup, masih kurang beberapa juta lagi. Sayapun hampir menyerah, saya sudah bilang kepada marketingnya kalau uang muka yang harus disetor tidak dikurangi sesuai dengan kemampuan saya, saya akan menyerah.

Solusipun datang dari marketingnya, dia yang akan menanggung sementara sisa uang muka tersebut, dan saya tinggal membayar nanti dengan mencicil. Jadilah saya berhasil melunasi uang mukanya.

Dan tinggallah kami sekarang sekeluarga di rumah tersebut. Sebuah rumah yang menurut kami sangat ideal sesuai dengan kemampuan kami. Adapun teman saya tak jadi mengambil rumah di sana, bukan jodohnya.

Rumus Mencari Rumah Pertama

Memiliki rumah pertama adalah impian bagi setiap pasangan muda. Setiap yang baru berkeluarga punya keinginan untuk memiliki rumah sendiri. Kamipun demikian. Lebih tepatnya istri sayapun demikian.

Saya pada awalnya tidak terlalu kepikiran untuk langsung membeli rumah. Tak ingin terburu-buru. Maunya punya uang DP yang banyak, atau kalau bisa sekalian beli tunai. Tapi logika dalam pembelian rumah ternyata tak berjalan seperti itu. Membeli rumah harus dipaksakan dan tak boleh ditunda-tunda begitu ada kesempatan.

Kementerian Pekerjaaan Umum dan Perumahan Rakyat, sebagaimana di beritakan Detik pada tahun 2019 menyatakan terdapat 81 juta anak milenial yang belum memiliki rumah. Dengan seiring bertambahnya waktu maka proporsi anak milenial juga akan makin meningkat, sehingga menjadi PR serius untuk memberikan rumah layak huni.

Bagi kita-kita yang sedang dalam proses mencari rumah, jumlah banyak tersebut artinya sebuah persaingan mendapatkan rumah yang layak. Jika diberi kebebasan memilih, sebagian besar orang akan memilih lokasi rumahnya yang strategis, lingkungannya asri, jalanannya luas, fasilitasnya lengkap, keamanan terjamin, dekat dengan lokasi rumah sakit, sekolah dan daerah rekreasi.

Tapi tidak begitu rumus yang berlaku dalam mencari rumah, khususnya bagi yang keuangannya terbatas. Para pekerja muda yang baru saja merintis karier yang juga sebagian diantaranya adalah generasi yang disebut dengan generasi sandwich. Generasi sandwich adalah generasi yang tidak hanya membiayai dirinya dan keluarga kecilnya tapi juga harus membiayai orang tuanya.

Berdasarkan pengalaman saya untuk mencari rumah pertama, ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik.

Pertama, mulai saja dulu. Mencari rumah sama dengan proses mencari jodoh. Rumah itu cocok-cocokan, sehingga diperlukan proses pencarian dan juga kompromistis. Karena istri saya yang kepingin sekali punya rumah, maka saya telah menemaninya mencari rumah di banyak tempat di sekitar Jabotabek, dengan macam-macam lokasi.

Proses memulai ini akan memberikan kita trigger, memberi semangat, dan juga meningkatkan kreatifitas dan keinginan untuk mengumpulkan modal membeli rumah pertama. Dalam proses memulai itulah, ketika tiba saatnya, Anda akan membunyikan tombol ketika telah bertemu rumah yang cocok.

Kedua, sedikit dipaksakan tapi ingat kemampuan. Mungkin kalau saya tidak memaksakan diri pada awalnya untuk membeli rumah, saya tidak akan tinggal di rumah yang sekarang. Dan kalau saya tidak memaksakan saat itu, maka saya akan melihat rumah di kawasan tersebut akan naik harganya di kisaran harga yang makin sulit untuk dijangkau. Setahun setelah saya membeli rumah, seorang teman membeli juga di sekitar blok rumah saya dengan harga 100 juta lebih mahal dan lebih sempit. Sekarang harga rumah di sekitar tempat saya sudah naik lebih dari dua kali lipat dibanding saat saya membeli.

Namun demikian tetap harus dihitung kemampuan kita bisa menjalani masa “pemaksaan” itu berapa lama. Tiga tahun pertama dalam mencicil rumah adalah masa yang sulit, karena itu diperlukan melakukan penghematan-penghematan pos pengeluaran lainnya. Setelah beberapa tahun biasanya cicilan itu terasa lebih ringan dikarenakan penghasilan meningkat dan juga adanya inflasi sehingga nilai uang terasa lebih kecil.

Ketiga, dengarkan kata pasangan. Ini yang saya lakukan. Kita ingin agar rumah itu menjadi surga bagi keluarga kecil kita. Kita tak ingin ada pertengkaran hanya karena tidak pernah iklas menerima bahwa itu adalah rumah yang kita pilih bersama. Bagi saya saat memilih rumah, suara istri saya 100% yang harus didengarkan, karena dia yang lebih banyak di rumah. Dia yang akan merasakan matahari yang masuk menembus jendela, angin yang masuk melalui void atau kungkungan asap kalau rumahnya tak sesuai. Pasangan harus nyaman dengan rumah yang dipilih bersama.

Saat ini semakin sulit mencari rumah dengan kategori ideal seperti yang ada di kepala saya 10 tahun lalu di sekitar Jabodetabek. Tapi semakin lama kita menunggu untuk memulai mencari rumah, maka akan semakin jauh pula kita harus berkompromi dengan kategori rumah yang kita inginkan. Segeralah memulai, sedikit paksakan, dan berdiskusilah dengan pasangan.

Bagi Anda yang sedang mencari rumah pertama, semoga segera dipertemukan dengan jodohnya.

Published by taroada

Engineer | Manunited Fans | Indonesia | Edinburgh

2 thoughts on “Rumah Perjuanganku, Rumah Pertamaku 

  1. Setuju sekali kak, perjuangan mencari rumah ini memang seru. Saya sampai cari jauuuh sekali, ternyata jodoh rumahnya malah yang dekat, sangat dekat dengan akses LRT pulak.

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

The Daily Post

The Art and Craft of Blogging

WordPress.com News

The latest news on WordPress.com and the WordPress community.

Dwiki Setiyawan's Blog

Pencerah Langit Pikiran

Tofan Fadriansyah

Just another WordPress.com weblog

%d bloggers like this: