Pekerja PLTN Fukushima (gambar : AFP/Getty)
Meski bangsa Jepang terkenal gagah berani dan hampir tak kenal takut, tapi merkea punya trauma mendalam terhadap satu hal, Nuklir. Di bulan Agustus tahun 1945 dalam waktu hanya berselang 3 hari, dua bom nuklir di jatuhkan oleh tentara Amerika di dua kota, Nagasaki dan Hiroshima. 129.000 orang meninggal, sebagian meninggal saat itu juga, sebagian lagi meninggal karena penyakit dan radiasi. Lebih mengenaskannya, para korban adalah warga sipil. Setelahnya jutaan orang Jepang trauma dengan efek nuklir tersebut.
Setelah Perang Dunia II, Jepang kembali membangun negaranya dari puing. Dimulailah proyek pembangunan PLTN untuk tujuan damai. Sepuluh tahun setelah bom nuklir menghancurkan Jepang, tahun 1955, Jepang menandatangani kesepakatan pengayaan uranium dengan negara pengebomnya, Amerika Serikat. 21 tahun kemudian, atau tepatnya Juli 1966 mulailah pembangunan PLTN pertama di Jepang di Tokai Power Station. Pembangkit pertama dibangun justru oleh kontraktor dari Inggris. Kapasitasnya 166 MWe, relatif kecil untuk ukuran PLTN saat ini.[1] Dari kontraktor yang menangani PLTN tersebut itulah langkah pertama Jepang membangun PLTN berikutnya. Jepang belajar banyak dari proyek tersebut, dan kita tahu sendiri bahwa Jepang adalah pembelajar yang ulet.
Langkah kedua yang dilakukan Jepang setelah membangun PLTN tersebut adalah membentuk Join Venture antara swasta Jepang (Hitachi dan Toshiba) dengan kontraktor Amerika Generl Electric. Mereka membangun PLTN Light Water Reactor (LWR) pertama berkapasitas 357 MWe. Selanjutnya dalam selang waktu sejak 1970 s.d 1990 Jepang telah membangun 36 PLTN dengan total kapasitas 29 GW dan puncaknya pada tahun 2009 total kapasitas pembangkitan PLTN Jepang sudah mencapai hampir 50 GW, hanya sedikit lebih rendah dari total kapasitas pembangkitan Indonesia saat ini yang sekitar 52 GW[1].
Dalam masa membangun tersebut, rakyat Jepang menerima PLTN dengan terbuka. Tak ada kecelakaan di PLTN yang merenggut jiwa maupun berdampak luas. Memang ada beberapa kasus seperti kebocoran pipa dan adanya tiga buah pembangkit yang pernah shutdwon karena gempa, tapi semua aman dan terkendali. Para insinyur dipercaya menjalankan PLTN sesuai dengan kaidah ilmu yang telah dipelajarinya. Resiko PLTN dapat diminimalisir karena bangunan PLTN di Jepang tahan terhadap gempa berkekuatan tinggi sekalipun.
Tapi pada tanggal 11 Maret tahun 2011, sebuah gempa dahsyat terjadi di Jepang. Gempa tersebut berkekuatan 9 Skala Richter[2]. Tak ada kerusakan berarti di semua PLTN di Jepang. PLTN sekitar Fukushima shutdown secara otomatis. Control rod langsung masuk mendinginkan reaktor. Menjadi nature-nya tenaga nuklir, reaksi yang sudah terjadi tidak bisa langsung dihentikan, dibutuhkan pendinginan yang lama dan terus menerus agar panas yang timbul akibat reaksi fisi yang terjadi tetap terkendali. Saat itu PLTN tidak bisa memproduksi energinya sendiri untuk pendinginan sehingga menggunakan generator back up untuk memompa water cooling.
Ada ada hal yang terlupa oleh para engineer Jepang yang terkenal teliti dan sangat berdedikasi. Mereka tidak mempersiapkan bagaimana kalua PLTN terkena tsunami yang lebih tinggi lagi. Memang, generator backup masih bisa beroperasi dan memompa water cooling, tapi terjangan tsunami setinggi 15 meter menyebabkan generator terendam air sehingga rusak dan terjadilah pemasanan dan berakhir dengan adanya kebocoran reaktor yang berisi zat radioaktif. Standar benteng tsunami PLTN Fukushima saat itu hanya 10 meter[3]. PLTN di Fukushima dibangun tahun 1970an, dan data yang digunakan adalah data tahun 1960-an sehingga prediksi tsunami saat itu tidak terlalu tinggi. Saat tsunami terjadi, 3 orang pekerja PLTN meninggal, tapi tak ada kaitannya dengan radioaktif.
Hari itu juga pemerintah mengumumkan status bencana nuklir, lebih dari 100 ribu penduduk diungsikan dalam radius 20km sekitar PLTN. Hingga saat ini, lokasi sekitar masih tak berpenghuni. Tim penanganan PLTN bekerja sangat keras dan beresiko untuk mengontrol pendinginan PLTN. Tapi tak ada korban jiwa dari dari Pekerja maupun warga sekitar akibat kecelakaan tersebut. Tapi konsekuensinya berdampak besar terhadap nasib 43 unit PLTN di Jepang.[1]
Tsunami yang melanda Fukushima juga menjadi “bencana” bagi PLTN yang lain. Semua PLTN dihentikan untuk sementara sampai batas waktu yang tidak ditentukan. PLTN yang tidak ada kerusakan dan sejarah kecelakaanpun semua ikut imbasnya. Pemerintah mengeluarkan peraturan yang sangat ketat dan assessment harus dilaksanakan ulang terhadap semua PLTN. Site-site baru PLTN tidak mendapat izin dari Pemerintah.
***
Sebagai peserta training energy policy yang diselenggarakan oleh Japan Internantional Cooperation Agency, saya berkesempatan mengunjungi PLTN Hamaoka yang berada di daerah Shizuoka Prefecture, di pantai timur Jepang, sekitar 200 km dari Tokyo. Masuk ke area PLTN sudah terlihat pemeriksaan yang sangat ketat terhadap pengunjung dan kendaraan yang masuk. Kami ditunjukkan simulasi reactor PLTN di area exhibition center. Bentuknya dibuat menyerupai reaktor yang sebenarnya. Saya tidak terlalu berharap bisa melihat ke area PLTN karena setahu saya PLTN adalah salah satu obyek vital negara yang sangat sangat ekstra hati-hati penjagaannya.
Kunjungan ke PLTN Hamaoka Jepang
Tapi ternyata kami diajak masuk melihat, sebelumnya paspor di scan selama proses perkenalan di exhibition center. Saat masuk ke gerbang, pemandu kami yang juga GM operation PLTN melaporkan keberadaan kami di pos masuk dan kami diperbolehkan masuk ke ring-3 (istilah saya) yang punya akses terhadap tsunami wall yang berada di bibir pantai. Saat ini PLTN sedang melakukan perbaikan tsunami wall yang sebelumnya 18 meter menjadi 21 meter diatas permukaan laut, sesuai dengan regulasi dari Pemerintah. Sejak kecelakaan di Fukushima keempat unit PLTN Hamaoka di shutdown. Dua unit dalam tahap decommissioning, yang artinya sudah pasti berhenti operasi dan 2 unit lagi sedang dalam perbaikan untuk memenuhi regulasi pemerintah Jepang. Proses decommissioning PLTN memaka waktu 20 tahun, dan ini juga yang menjadi salah satu perbedaan mendasarnya dengan pembangkit yang lain, PLTN tidak bisa serta merta ditinggalkan dan dibongkar dengan cepat karena masih adanya zat radioaktif.
Setelah melihat tsunami wall, kami berkesempatan melihat hingga di luar bangunan reaktor. Pemeriksaan metal dan scanning tubuh dilaksanakan sebelum masuk area ini. Dari area tersebut nampak konstruksi sedang dilakukan untuk mengantisipasi adanya tsunami dan dampak setelah air masuk ke dalam area PLTN. Pintu-pintu masuk dalam plant diganti dengan yang tebal sehingga air tak bisa masuk. Ini lah mungkin yang disebut orang dikampung, “tutup pintumu supaya air banjir tidak bisa masuk”.
Tidak diperbolehkan mengambil gambar selama tur berlangsung, karena sangat terlarang. Yang pasti, pihak Engineer PLTN yang saat ini unitnya di shutdown hanya bisa berucap lirih “ tak ada dasar ilmunya sampai PLTN ini harus di shutwdown, semuanya karena pertimbangan non saintik”
***
Sejak seluruh PLTN shutdown di Jepang pada tahun 2011, PLTN digantikan oleh PLTU Batubara dan PLTG. Dalam 5 tahun itu, Jepang sukses melewati musim dingin dan musim panas tanpa pernah black out atau kekurangan daya. Publik di Jepang akhirnya berkesimpulan tak perlu ada PLTN lagi, karena semuanya baik-baik saja. Padahal Jepang sebenarnya di ambang krisis energi kalau tak mengoperasikan PLTN dalam waktu ke depan karena kemampuan internal Jepang untuk mensuplai dayanya sendiri hanya 6% dari total energi yang dibutuhkannya. Hampir tak ada batubara di Jepang, semuanya diimpor dari Australia dan Indonesia, demikian juga minyak dan gas, semuanya impor. Sebelumnya pada saat PLTN beroperasi Jepang bisa mensuplai sendiri 25% dari energi primernya.
Ditutupnya PLTN juga menyebabkan harga listrik yang dibayar konsumen menjadi lebih mahal dan defisit perdagangan Jepang meningkat. Jajak pendapat publik tak menunjukkan kemajuan berarti, tak ada Prefecture yang bersedia wilayahnya dibangun PLTN. Engineer berada dalam keadaan terjepit, opini masyarakat pasti diikuti oleh politisi karena pemilik hak suara ditentukan mereka. Padahal dalam sejarah panjang nuklir untuk kepentingan damai di Jepang dalam 50 tahun terakhir, tak ada orang yang meninggal atau terkena kanker karena radiasi dari PLTN, semuanya baik-baik saja. Engineer Jepang punya tugas berat meyakinkan rakyat Jepang akan keamanan PLTN dan pentingnya PLTN untuk masa depan bangsa Jepang.
Salam dari Tokyo,
Juli 2016
Reference :
[1] K. Shigimori, “Nuclear Energy Policy in Japan,” ed. Tokyo: The Institute of Energy Economics Japan, 2016.
[2] USGS. (2011, 1 Juni). Magnitude 9.0 – NEAR THE EAST COAST OF HONSHU, JAPAN. Available: http://earthquake.usgs.gov/earthquakes/eqinthenews/2011/usc0001xgp/
[3] WNA. (2016). Fukushima Accident. Available: http://www.world-nuclear.org/information-library/safety-and-security/safety-of-plants/fukushima-accident.aspx