Sebagai putra Sidrap tentu membanggakan bisa melihat langsung ladang angin ini. Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) terbesar dan komersial pertama di Indonesia.
Tower-tower yang berbaris di atas bukit ini memanen angin yang selama ini tak termanfaatkan. Kecepatannya bisa mencapai 20m/s, rata-rata tentu di bawah itu.
Tiga puluh tower dirangkai ke tiga arah pada masing-masing bukit, dimana tiap tower mampu menghasilkan 2,5 MW, sehingga total kapasitasnya 75 MW. 100.000 rumah tangga bisa dialiri listrik kalo dihitung semua kapasitasnya. Menurut data BPS 2011 rumah tangga di Sidrap hanga sekitar 63 ribu, mungkin sekarang sudah 70 ribuan, tapi intinya Sidrap sudah swasembada beras, telur dan sekarang energi. Kita tak hanya mengekspor beras dan mengirim telur ke pulau seberang tapi juga mengirim energi bersih. Berbahagialah orang Sidrap.
Sejak resmi beroperasi April 2018 dan diresmikan Presiden pada Juli 2018, PLTB ini sudah mensuplai ke sistem Sulawesi Selatan. Outputnya pernah mencapai 78 MW, begitu kata seorang kawan tampan di manajemen PLTB Sidrap, Wahyudi Azikin. Capacity Factor (perbandingan antara energi output dengan energi maximum yang bisa dibangkitkan) mencapai 58,29%, cukup tinggi dibanding dengan typical PLTB yang menurut referensi sekitar 30%. (sumber : mit.web.edu> wind energy 101)
Tentu ada tantangan khusus dari sisi pengaturan beban, karena kecepatan angin variatif dan berdampak langsung terhadap output pembangkit, sementara data kecepatan angin yang kita punya belum memadai sehingga prediksi angin berdasarkan modelling masih ada error hingga rata-rata 35%, dan menurut PLN bisa mencapai 74%, namun dengan semakin berjalannya waktu maka perbedaan antara prediksi dan real bisa semakin tipis. Angin adalah jenis energi yang predictable, asal datanya cukup dan dalam rentang yang lama, sangat berbeda dengan energi surya yang bisa langsung hilang karena tertutup awan.
Dalam pengalaman yang masih singkat sejak beroperasinya PLTB, terdapat kejadian menurunnya output (ramping down karena penurunan kecepatan angin, output turun hingga 60MW dalam waktu 66 menit.
Kawan saya Ikhsan Rahman dari PLN Kitlur Sulawesi, unit PLN yang mengatur beban, juga masih berusaha menyesuaikan agar dispatcher (sang pengendali jaringan) tidak kesulitan mengatur frekuensi sehingga PLN tidak merugi akibat penyediaan cadangan kapasitas untuk mempertahankan frekuensi sistem dalam rentang yang sesuai dengam aturan jaringan.
Tantangan lain adalah harga. Harga energi PLTB lebih tinggi dibanding PLTU apalagi dibandingkan dengan air. Tapi soal harga ini, akan semakin menurun dengan semakin berkembangnya teknologi dan manufaktur PLTB. Secara trend memang sih biaya pembangunan PLTB semakin murah. Tapi harga harus dibayar untuk ketahanan energi, kita tak bisa selamanya bergantung pada energi fosil, pada saatnya nanti dia akan habis.
Kalo ada daerah di Indonesia yang bisa jadi percontohan energy mix yang baik maka Sulawesi-lah tempatnya. Di sini, Energi Baru Terbarukan (EBT) memberi porsi yang sangat signifikan mencapai
30% yang berasal dari air, panas bumi dan angin.
Sulsel adalah memberi sumbangsih secara nasional untuk hal-hal yang menggembirakan. Pertumbuhan ekonominya 7.5%, cadangan daya pembangkitnya 31% dan porsi EBTnya sudah lebih besar dari cita-cita nasional sebesar 23%.
Satu lagi tantangan yang harus dipecahkan kawan saya adalah bagaimana mengatur jaringan supaya tidak ada lagi black out yang terjadi seperti minggu lalu. PLTB Sidrap untungnya tak ada hubungannya dengan black out tersebut.
Dengan cadangan daya yang besar, ini adalah jualan yang sangat menggiurkan untuk Sul-sel kepada para investor. Termasuk juga banyak perusahaan multinasional yang sangat peduli dengan lingkungan sehingga hanya mau suplai ke pabriknya nya adalah dari EBT, ini bisa juga dijual oleh Pemerintah dan PLN.
Bagi masyakarat Sidrap, PLTB diharapkan tidak hanya menyerap tenaga kerja untuk pembangkitnya saja tapi juga memberi dampak lain pada masyarakat dengan menjadikan PLTB ini obyek wisata yang instagrammable, kebayang rasanya makan Palekko di pinggiran sawah di Sidrap dengan latar belakang kincir angin, setelahnya menikmati apang panas dengan segelas kopi Kalosi atau Toraja.
Sidrap yang terkenal dengan tukang kayu, pandai besi dan pengrajin batu nisannya bisa mulai juga belajar membuat replika kincir angin. Pemerintah daerah bisa mendorong dengan membuat lomba bagi masyarakat. Masyarakat Sidrap juga bisa memasang replika kincir di setiap rumahnya, sehingga ketika orang masuk ke wilayah Kabupaten Sidrap langsung teridentifikasi kalo kita sudah di Sidrap. Sidrap pasti makin keren.
Semoga Angin ini bisa makin bermanfaat untuk Sidrap dan Indonesia.