Oleh : Ahmad Amiruddin
Black out listrik pasti punya banyak dimensi, pohon sengon yang muncul sebagai biang keladi pemicunya bisa jadi hanyalah trigger yang mengawali. Dulu di LG kita diajari, untuk mencari penyebab utama perlu menjawab lima kali why. Untuk system kelistrikan besar seperti Jawa-Bali mungkin perlu 25 kali why untuk menemukan akar masalahnya. Dan Sengon baru menjawab why pertama dari permasalahan yang muncul.
Sistem kelistrikan terinterkoneksi satu sama lain. Tulang punggung di jawa bali adalah system 500 kV yang menghubungkan dari timur-barat dengan dua jalur yaitu utara dan selatan, masing-masing jalur terdiri dari 2 sirkit, sehingga ada empat sirkir secara keseluruhan. Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi ini mengubungkan 61 Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi (GITET) dan jalur transmisinya sepanjang 5.073 kilometer sirkit (Statistik Ketenagalistrikan, 2017). Dari GITET tersebut terhubung dengan 889 Gardu Induk 150 kV yang terhubung dengan Pembangkit dan Sistem Distribusi untuk dialirkan ke konsumen. Interkoneksi ini memungkinkan transfer listrik bisa terjadi dari timur ke barat atau sebaliknya. Tapi pada prakteknya aliran daya terjadi dari timur ke barat, karena beban di Jawa Barat, Banten dan Jakarta lebih besar. Pusat industri dan bisnis ada di area ini.
Pada dasarnya aliran ini akan baik-baik saja kalau semua sirkuit bisa mengalirkan arus dalam keadaaan normal. Tapi saat kejadian ada satu sirkuit di bagian selatan yang dalam keadaan maintenance. Pohon sengon yang dicurigai penyebab itu kabarnya menyebabkan hubung singkat di dua sirkuit di utara. Pada saar bersamaan salah satu sirkit di selatan sedang dalam maintenance, otomatis seperti air, aliran daya mengalir ke satu sirkit tersisa, yang karena kemampuannya untuk mengalirkan arus terbatas, disebut oleh rekan PLN dengan N-1-1 (yang artinya kalau dua sirkit mati masih bisa di back up oleh sirkit lain yang tersisa), maka kemudian peralatan proteksi bekerja.
Lokasi pohon sengon ada di tengah-tengah, maka kemudian terpisahlah sistem di barat (Jawa Barat, Jakarta dan Banten) dan di timur (Jateng-Jatim-Bali). Sistem Timur masih bisa berjalan meskipun awalnya frekuensinya naik. Namun di barat, karena kehilangan pasokan menyebabkan goyangan pada kelistrikan terjadi, kemudian menyebabkan beberapa pembangkit besar keluar dari system, Jakartapun kehilangan pasokan.
Bagi yang agak awam, Lennart Soder punya cara mengilustrasikan system kelistrikan yang mungkin bisa membantu. Sistem interkoneksi kelistrikan itu mirip sepeda tandem, tapi tandemnya tidak cuma dua orang, dia ratusan. Sepeda ini harus bergerak terus dengan kecepatan yang konstan, itulah yang disebut frekuensi dalam listrik, ketika ada tambahan beban atau penurunan beban, kecepatannya harus tetap sama. Bisa kita analogikan dalam sepeda ini ada yang bertugas mengayuh dan ada penumpangnya.
Yang bertugas mengayuh adalah pembangkit, dan penumpangnya adalah beban atau konsumen. Jalur transmisi dan distribusi adalah rangka sepeda yang menghubungkan keduanya. Karakter yang mengayuh maupun penumpang bisa berbeda tergantung seperti juga pada kelistrikan. Pembangkit bisa bermacam-macam, pembangkit seperti PLTU dan PLTN karakternya sama dengan orang yang mengayuh pedal sepeda secara langsung dengan kecepatan konstan, dia sulit merubah kecepatannya, ketika beban berkurang atau bertambah untuk menyesuaikan kecepatan dia sulit. Pembangkit seperti PLTG, bisa menyesuaikan kecepatan mengayuh secara cepat. Pembangkit dari angin dan surya hanya mengayuh ketika angin atau mataharinya ada. Pembangkit seperti PLTA punya kecendrungan putaran rendah, makanya dia dianalogikan memiliki gir tambahan untuk menyamakan kecepatan.
Sementara penumpang juga macam-macam gaya dan kelakuannya, kadang-kadang ada yang tiba-tiba meloncat keluar dari sepeda, kadang-kadang ada yang tiba-tiba mengerem, ada yang mengayuh ke belakang berlawanan arah, ada pula yang miring kiri dan kanan, ada juga yang bergoyang tidak sesuai dengan goyangan sepeda. Karakter-karakter tersebut juga mirip di sistem kelistrikan.
Penumpang yang sering mengerem sepeda, sama dengan beban resistif pada kelistrikan, beban ini menyebabkan panas, seperti setrika dan lampu pijar. Penumpang yang mengayuh berlawanan arah seperti beban listrik yang menggunakan motor listrik, beban ini seperti lift, pompa dan lain-lain. Selain itu beban ini juga bergoyang ke kiri atau ke kanan menyebabkan keseimbangan sepeda harus disesuaikan oleh pengayuh, jenis beban ini disebut induktif.
Ada lagi beban yang terus menerus bergoyang dengan frekuensi cepat, beban jenis ini adalah jenis beban harmonics yang dapat berdampak pada berkurangnya kecepatan sepeda.
Mirip-mirip seperti itulah kompleksnya sistem kelistrikan. Intinya kecepatan kayuhan dan tenaga mengayuh gak boleh kendor. Harus sejalan. Bodi sepeda dan rantai yang menghubungkan juga gak boleh kendor. Sistem kelistrikan harus dijaga memiliki tegangan dan frekuensi yang sama.
Dalam kasus black out kemarin, transmisi yang menghubungkan antar sistem terlepas menyebabkan sistem di barat kelebihan beban penumpang dan sistem di timur kelebihan tukang kayuh. Akibatnya sistem di Barat terlepas, idealnya beberapa penumpang harusnya dibuang di tengah jalan, dan tukang kayuh meningkatkan tenaganya agar kecepatan tetap sama tapi sistemnya terlambat membuang beban, sehingga sepeda limbung dan jadilah black out.
Dari berita sengon adalah pemicunya. Sengon memang salah satu jenis pohon yang tumbuhnya cepat, hasil gugling ke http://www.nasionalisme.co/wah-sengon-solomon-bisa-menggap…/. Menemukan bahwa pohon sengon bisa tumbuh 2-3 meter per tahun. Tapi pohon sengon bukan pohon ajaib yang tumbuh dalam satu malam, seperti dalam kisah Jack the Giant Slayer.
Sebenarnya ada aturan yang mengharuskan daerah tapak tower transmisi dan jalur di bawahnya clear dari bangunan maupun tumbuhan. Untuk tapak tower, harus dibebaskan dan menjadi milik operator (PLN), sedangkan area sekitar jalur transmisi diberik kompensasi 15% dari harga pasar. Pemilik tetap dapat menjalankan aktifitasnya namun harus memperhatikan jarak bebas yang diperbolehkan. Untuk tanaman jarak yang dibolehkan antara pucuk pohon dengan kawat transmisi terbawah adalah paling dekat 9 meter, lebih dekat dari itu sudah tak boleh. Sialnya pohon sengon ini akan makin dekat dari tahun ke tahun. Dia gak bisa ditegur untuk menjauh atau di suruh berhenti, satu-satunya cara adalah dipotong atau ditebang, dan itulah tugas petugas ground patrol PLN untuk mengecek hal ini. Mirip petugas perlintasan kereta tugasnya adalah mulia. Saya tak tahu kenapa petugas ini bisa melewatkannya, karena efeknya collateral.
Pohon bisa bersifat penghantar apalagi sengon spertinya juga jenis tanaman yang banyak mengandung air. Tegangan tinggi bisa menyebabkan loncatan arus melalui pohon ke tanah. Akibatnya terjadi gangguan, yang bisa berbahaya terhadap peralatan dan manusia jika tidak diclearkan.
Pertanyaannya sekarang, apakah hanya pohon sengon saja penyebabnya atau ada penyebab lain di belakangnya? Apakah ada unsur intelejen? Untuk penyebab di luar teknis, sangat kecil kemungkinannnya. Tapi rangkaian black out ini menjadi panjang karena setelah pembangkit lepas, untuk menghidupkannya lagi butuh waktu lama, apalagi sebagian besar pembangkit yang mensuplai sistem jawa bali adalah jenis PLTU. Uap butuh waktu untuk panas, ya kayak memanaskan air saja, perlu waktu. Untuk membuat PLTU siap sedia ini butuh waktu hingga 7 jam. Celakanya lagi gak semua PLTU ini bisa start sendiri, dia harus disuplai dulu listrik dari luar baru bis motor-motornya bergerak.
Kembali ke pertanyaan apakah hanya pohon sengon peyebabnya?. Ada banyak pertanyaan lanjutannya, mengenai patroli ground yang harusnya mengecek secara teratur, proteksi yang harusnya melepas beban, mengenai kemampuan pembangkitan, dan terakhir ujung-ujungnya adalah bisakah kita sustain dengan model bisnis kelistrikan sekarang ini dengan monopolistic terintegrasi? Secara teknis dan ekonomi apakah itu yang lebih baik.
Black out di beberapa tempat adalah awal mula pemicu reformasi pasar kelistrikan di beberapa Negara. Let See, karena ke depan listrik akan masuk ke semua lini dan akan menuju disruptive business.