oleh : Ahmad Amiruddin
Sejak jaman Mesir Kuno hingga ke jaman modern, ada tiga masalah yang selalu yang menghantui manusia, “kelaparan, wabah dan perang”, begitu kata Yauval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus.
Tak semua kita pernah merasakan masa sulit. Generasi milenial dan generasi sebelumnya tak pernah berada dalam hiruk pikuk yang demikian ini.
Kakek saya adalah veteran perang kemerdekaan, masih belasan tahun umurnya, tapi dia merasakan dunia penuh gejolak itu. Mama’ dan Bapak saya merasakan masa-masa gurilla di Sulsel. Mama’ bercerita kalau jarak terjauh yang bisa ditempuhnya di masa kecil adalah adalah lapangan bola, jaraknya hanya sekitar 200an meter dari rumah. Lebih jauh dari itu, bersiaplah menghadapi segala kemungkinan buruk. Gurilla di Sulsel terjadi sekitar akhir 50an dan awal 60an, banyak rumah memiliki lubang persembunyian di belakangnya. Ketika terdengar tembakan maka semua orang akan berlari menuju ke lubang itu, apalagi bagi anak gadis.
Mama’ bercerita kalau ada adik kelasnya yang tewas diterjang peluru karena menolak dibawa gurilla. Para pemberontak itu baru menghilang setelah tentara bantuan dari tanah Jawa ditempatkan di rumah-rumah penduduk.
Setelah masa itu, tak ada lagi ketakutan kemana-kemana. Pernah ada masa paceklik sehingga harus mencampur jagung denga beras. Iya mencampur jagung dengan beras kata Mama’, karena lebih banyak jagungnya dibanding berasnya. Sekitar tahun 65an.
Setelahnya hidup relatif aman. Masa sulit perlahan menghilang. Orang Indonesia secara umum bisa tercukupi kebutuhan pangannya, wabah bisa diantisipasi, dan tak ada perang besar.
Coba kita tengok cerita Harari terkait wabah. Salah satu penyebab kematian terbesar dalam sejarah umat manusia.
Wabah maut pertama yang terkenal adalah Maut Hitam (Black Death), sekitar dasawarsa 1330. Bermula dari sebuah tempat di Asia Timur atau Asia Tengah kemudian menyebar ke seluruh Asia, Eropa, dan Afrika Utara. Dalam waktu dua tahun menewaskan 75-200 juta orang. Lebih dari seperempat populasi Eurasia meregang nyawa. 40% populasi Inggris berkurang, dari sebelumnya 3,7 juta jiwa menjadi 2,2 juta jiwa.
Selanjutnya pada Maret 1520, satu rombongan kecil kapal Spanyol berangkat dari Kuba ke Meksiko, membawa tentara Spanyol, budak, kuda-kuda dan senjata api. Tapi mereka tak tahu bahwa salah seorang budak bernama Francisco de Egula membawa miliaran tentara renik dalam tubuhnya yang akhirnya menyapu penduduk Meksiko dengan wabah cacar dan menghabiskan sepertiga penduduk Kota Aztec dalam kurun waktu dua bulan.
Dalam 60 tahun penduduk meksiko berkurang dari awalnya 22 juta jiwa menjadi hanya satu juta jiwa.
Kemudian tahun 1778, di Hawaii penjelajah James Cook memperkenalkan flu kepada penduduk kepulauan itu yang tak pernah berinteraksi dengan manusia dari benua lain. Hawaii yang sebelumnya berpenduduk setengah juta jiwa tersisa 70 ribu orang di tahun 1853.
Wabah ini masih terus berkecamuk dan membunuh puluhan juta orang, hingga ke tahun 1918. Para tentara perang dunia terpapar virus yang disebut Flu Spanyol. Karena semakin terhubungnya manusia, secara global dengan rantai pasokan yang tak putus dari Asia Tenggara, Amerika, India, Timur Tengah dengan masing-masing produknya, maka 500 juta orang terinfeksi Virus tersebut. Di India, 5% penduduknya meninggal (sekitar 15 juta waktu itu), bayangkan kalau itu terjadi sekarang, 5% dari penduduk India sekarang sekitar 60 juta jiwa. Di Pulau Tahiti, 14 persen penduduk mati, Di Samoa 20 persen meninggal. Virus tersebut membunuh 50-100 juta jiwa. Bandingkan dengan korban perang dunia pertama yang korban jiwanya “hanya” 40 juta orang.
Setelah masa itu, kemampuan imunitas kita bukan semakin baik sehingga tak ada lagi wabah mematikan. Tetapi perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan mempercepat proses pencegahan dan penyembuhan. Resiko terpapar justru semakin besar dengan semakin tak adanya batas perlintasan orang antar negara. Reuni, pertemuan, konferensi, stasiun, bandara, sekolah, pengajian, pertandingan bola semua mempermudah berpindahnya virus dari satu orang ke orang lainnya. Tapi bangsa-bangsa relatif lebih mudah dalam menangkal virus.
Sempat terjadi wabah SARS, MERS dan Ebola, tapi semuanya bisa dilokalisir. Hingga kemudian kita tiba di masa sekarang ini. Masa yang penuh ketidakpastian. Pilihan yang diambil jadi serba salah. Pergi dari rumah takut ketularan atau menulari orang.
Tapi aktifitas yang berkurang membuat ekonomi melemah, rupiah tersungkur dan IHSG jatuh seperti banteng ditusuk matador. Sekarang IHSG sudah di bawah 4000. Anda yang tahun lalu punya saham dengan harga 100 juta, mungkin dalam beberapa hari ini saja tinggal 50 juta. 50 juta melayang seperti hujan menghilangkan panas. Apalagi yang sahamnya miliaran atau triliunan, pusing kepalanya. Para pekerja yang mengandalakan penghasilan dari pekerjaan harian yang mengharuskan kehadiran bisa goyah tiang dapurnya. Para driver Ojol, tukang batu dan pekerja lepas harian tak bisa berdiam di rumah dan berharap tetap punya penghasilan.
Para calon pelajar yang akan berangkat sekolah ke luar negeri juga sedang ketar-ketir, gerangan apa yang akan terjadi dalam enam bulan ke depan. Banyak negara menutup negaranya dan kita juga tak mau membawa penyakit atau tertular di negara tujuan.
Jabat tangan yang selama ini kita anggap biasa ternyata punya nilai filosofis. Ketika kita berjabat tangan artinya membuka diri kita. Menerima orang lain apa adanya. Sekarang, untuk alasan kesehatan jabat tangan sebaiknya dihindari. Kita tak tahu, kita yang akan menginfeksi orang atau sebaliknya, dan ada orang-orang tertentu yang rawan terhadap virus yang bisa ditulari itu.
“Hari-hari terakhir ini sudah mirip kayak waktu kecil,” kata Mama’. Tak boleh kemana-mana, kita tak tahu apa yang mengintai di luar. Tapi harapan kita besar. Manusia telah mengakumulasi pengetahuannya mengenai wabah dalam seratus tahun terakhir. Allah akan menolong kita selama kita berusaha dan berikhtiar.
Virus ini makhluk kecil, dia berevolusi dan berkembang tanpa saling mengomando dan memanage. Tapi manusia yang bersatu, berpikir, dan tidak anti sains akan bisa mengalahkannya, atas kehendak Allah.
Esok matahari akan bersinar lagi dan harapan akan tumbuh dari generasi baru. Semoga yang mencari obatnya segera menemukannya, yang merawat yang sakit tetap sehat, yang dirawat bisa sembuh, dan yang sehat tidak jadi vektor penyebar. Semoga.
*
Bekasi, 28 Maret 2020
Ahmad Amiruddin
www.taroada.com