Trip ke Old Trafford : Bagian 2. Sopannya Penonton di Old Trafford

Pada bagian pertama, saya bercerita mengenai daya tarik batik Man United di Old Trafford dan larangan membawa kamera lensa panjang masuk ke stadion, kali ini saya akan bercerita mengenai kondisi dalam stadion Old Trafford dan perjalanan pulang kembali ke Edinburgh.

—————–

21 Desember 

15.00

Stadion Old Trafford Manchester
Jelang Pertandingan

Peluit dibunyikan dan pertandingan dimula. Suara penonton West Ham juga kencang meskipun jumlahnya sangat sedikit. Tapi yang pasti mereka harus membayar lebih mahal dibanding supporter tuan rumah. Penonton Manchester united berasal dari beragam bangsa, dan bukan hal aneh mendengar dialeg Indonesia dan Malaysia di dalam stadion.

Tak seperti di Senayan yang tak jelas nomor kursinya, di Old Trafford semua tempat duduk ada nomor kursinya. Tak ada cerita mengokupasi nomor kursi orang lain. Dua orang petugas berdiri sepanjang pertandingan menghadap penonton di section saya. Tak pernah si petugas berbalik badan menghadap ke arah lapangan bola. Matanya seperti terus menerus menyelidik tangan para penonton kalau ada yang sampai berbuat macam-macam. Jumlah petugas lebih banyak lagi diantara supporter Man United dan West Ham. Di bagian lain terdapat tempat khusus bagi pengguna kursi roda yang ingin menyaksikan pertandingan.

Suasana Stadion Old Trafford
Supported West Ham dan Man United dipisahkan Petugas Berompi, foto saat pertandingan
Stadion Old Trafford Manchester United
Area Khusus Pengguna Kursi Roda

Lagu glory-glory Man United membahana seisi stadion. Bapak-bapak yang membawa anaknya di samping saya berdiskusi tentang taktik dengan anaknya. Dari kecil dalam budaya Inggris, seorang anak sudah harus menentukan klub pilihannya. Kadang-kadang jika bapak dan ibunya berbeda keyakinan klub, anak-anaknya harus memilih satu diantaranya, bapak ini penggemar Manchester United, telah memenangkan hati anaknya.

Sebagai penonton di stadion, kami sebenarnya adalah bagian dari show ini, tak akan ada serunya menonton pertandingan di televisi, jika tak ada gemuruh suara penonton di stadion sepanjang pertandingan. Menurut saya, penonton di Stadion Old Trafford terlalu sopan, harusnya menontonnya lebih dinamis dibanding ini. Harus diakui para penonton di Senayan jauh lebih garang dibanding di sini, dan itu juga berarti jauh lebih berbahaya. Di Inggris, tak ada pagar tinggi pembatas antara penonton dan lapangan bola. Dengan sekali melompat, dengan mudah penonton menjangkau pemain, melempar botol atau koin. Tapi tindakan itu tak jamak disini, hukumannya larangan menonton seumur hidup. Dan itu bisa berarti benar-benar tidak bisa ke stadion seumur hidup. Sistem administrasi dan pendataan yang baik dalam alamat dan data kependudukan tercermin dalam efektifnya sanksi ini.

Dengan tak jauhnya jarak antara penonton terdepan dengan lapangan, maka itu juga berarti jarak saya yang berada di belakang, tak juga jauh-jauh amat dari lapangan, dibanding kalau saya menonton di Senayan. Waktu saya menonton di senayan, tiket yang saya beli memang bukan yang VVIP, tapi hanya satu kelas dibawahnya, namun saya tak bisa melihat dengan jelas para pemain di lapangan, bahkan Bambang Pamungkas yang lagi pemanasan di pinggir lapangan saya pikir adalah anak Gawang.

Aneh nih anak gawang, pakai acara melambai-lambaikan tangan ke penonton segala pikir saya.

Kadangkala, kalau kita menonton di Senayan, banyak penonton yang iseng, dan isengnya kelewatan, kalau kita berada di depan, maka siap-siaplah mendapat lemparan botol dari atas, yang kurang ajarnya lagi berisi cairan air seni.

Di Old Trafford, harus saya akui kecepatan lari para pemain bola memang sudah mendekati sprinter. Saat Antonio Valencia membawa bola dari lapangan tengah keatas, dalam waktu sekejap laksana kijang, Rafael yang berada dibelakang Valencia berlari secepat kilat kedepan untuk menerima umpan. Kecepatan lari Rafael, tak pernah saya lihat dalam pertandingan langsung seperti di Senayan. Serangan balik Man United memang mematikan dan menghibur. Rooney bermain luar biasa seperti sebelum-sebelumnya, umpan-umpannya terukur, daya jangkaunya ke seluruh lapangan. Adnan Januzaj bermain dengan penuh percaya diri. Tak tampak kekikukan dalam mengecoh lawan, padahal usianya masih 18 tahun. Dari tempat saya, Adnan Januzaj tak kelihatan diving ketika mendapatkan kartu kuning, namun siaran ulang yang saya lihat, dia memang diving, si bocah harus berhenti diving supaya bisa jadi pemain hebat.

Dipertandingan malam itu, Danny Welbeck mencetak gol kembali, disusul Adnan Januzaj dan Ashley Young. Semuanya rasanya berlalu dengan cepat karena tak ada siaran ulang. Pada break babak pertama penonton akan keluar dari tempat duduk dan menonton dari layar televisi didepan café review pertandingan babak pertama. Mirip pemain film yang melihat hasil rekaman syutingnya kembali.

Gol Stadion Old Trafford Manchester United
Perayaan Gol Dannie Welbeck

Satu gol dari West Ham United karena kesalahan perangkap offside Man United. Perangkap offside ini memang pedang bermata dua, karena kalau salah, bisa berarti pemain belakang kehilangan start lari dua sampai tiga langkah. Man United seperti memberikan gol gratis kepada West Ham.  Kesalahan malam itu ada pada Alexander Buttnerr yang terlambat mensejajarkan diri dengan bek tengah. Satu gol dari West Ham membuat supporter West Ham kembali bergemuruh. Setelah goal, David De Gea, merapikan kaos kakinya yang tidak melorot, mungkin dia mengutuk kesalahan teman-temannya atau, berusaha memaafkan diri sendiri karena kebobolan lewat kolong badannya.

Saya beruntung malam itu, menonton dan bergembira dengan penonton Manchester, bisa dibayangkan  betapa kecewanya, sudah jauh-jauh datang, namun pulang membawa cerita kekalahan.

17.00

Pertandingan sudah bubar, dan saatnya bersaing untuk naik tram menuju ke Shudehill Interchange. Hujan mulai mengguyur sekitaran Old Trafford. Saya masih mereka-reka tram yang harus dinaiki karena berbeda dengan dengan berangkat yang naik train, kali ini saya akan pulang ke Edinburgh naik bis. Dalam proses antri membeli tiket tram, saya berusaha membuka peta melalui HP, namun loadingnya agak lama hingga indicator baterai saya semakin mendekati nol. Dengan ribetnya bawaan, saya membuka power bank dan menyambungkan dengan HP, bulir-bulir hujan sepertinya ada yang menyusup ke HP. HP saya bernafas kembali, tetapi petunjuk naik tram saya dapatkan dari petugas.

Tak ada bedanya tram di Manchester setelah ada match dengan sesaknya Trans Jakarta. Orang penuh berdesak-desakan, dan saya adalah orang terakhir yang bisa naik ke Tram. Pengalaman adalah guru terbaik, saya bisa menyusup dengan cepat. Naik Trans Jakarta lebih susah dari ini, karena di Ibukota tercinta tidak hanya langkah yang harus dipecepat, dompet dan HP juga harus dijaga. Di tram, seseorang yang katanya banyak teman kerjanya orang Indonesia di perusahaan minyak memberi petunjuk dimana harus turun. Dia memuji kemampuan saya mensejajarkan diri dengan pintu, agar tram bisa tertutup, hehehe.

18.00

Saya akhirnya turun di Mancester Shudehiill dan masuk kedalam terminal interchange. Saat beristirahat sambil menunggu bis, seorang anak muda berkulit coklat mendekati saya.

“Hi Brother, are you moslem?”

Lo kok tahu mas?

“Yes, I am”

“Woo very good, are you new in Manchester” tanyanya

“Yes, I am waiting for Mega Bus”

“No, Mega Bus is not here”

Dia mulai cerita sambil meperlihatkan Handphonenya, saya tak terlalu menangkap kata-katanya tapi ada kata mother, help, call, phone dan Victoria, (Victoria adalah nama daerah setelah Shudehill).

Saya mulai mencium hawa-hawa gak bener. Kenangan saya melayang ke Terminal Kampung Rambutan, ketika akan berangkat tugas ke Yogyakarta saat bencana Gunung Merapi. Saat itu seorang bapak-bapak kena pepet dua orang preman terminal.

Tapi ini kan bukan Kampung Rambutan

Tiba-tiba sebuah bis megabus merapat ke Interchange, saya bilang sama kawan itu.

“Hang on, a second, I want to ask to that lady”

Saya tanya sama si Ibu petugas, apakah ini mega bus yang ke Edinburgh,

“No, its going to Glasgow, Edinburgh on 7.30”

Oke, kata saya. Ketika saya berbalik mencari si Kawan tadi, tak tampak batang hidungnya menghiasi interchange itu lagi. Tak boleh berburuk sangka, tapi dia memang punya niat jahat kayaknya. Tadi katanya Mega Bus gak disini.

lu kira gue gak bisa nanya?

07.30

Mega Bus merapat, tujuannya Edinburgh via Glasgow rupanya. Saya naik, tak banyak penumpang ke Edinburgh, masing-masing penumpang menguasai 2 kursi. Saya mencoba mencharge HP di stop kontak yang tersedia di bis, namun tidak bisa.

22 Desember

01.15

Bis tiba di Edinburgh, saya langsung mendapatkan bis N31 dan meluncur menuju rumah. Bis malam, lebih dari setengahnya berisi orang yang kepayahan menahan pengaruh minuman keras. Berjalan naik ke bis dengan doyong, sambil menyanyi dan meracau, tapi tak ada yang reseh. Semuanya Pisss. Sopir bisnyapun tetap ramah, meskipun dibutuhkan waktu lebih lama untuk penumpang baru ini mengeluarkan koin dari kantongnya.

Sampai di rumah saya mencoba mencharge kembali HP. Bau hangus tercium dari konektor usb ke HP. Efek hujan tadi di Manchester dan saya yang buru-buru mengecharge HP meninggalkan air dalam konektor tersebut. Pelajaran anak SMP bilang, air adalah konduktor, dan jika kutub positif dan negative short circuit alamat akan nada yang rusak. HP saya jadi korban, dan ini bukan Jakarta, tak ada Mall Ambassador disini, dan tak ada jam kerja murah disini dan artinya ongkos perbaikannya tak murah.

Memang tak mudah meraih mimpi.

Sekarang saatnya bermimpi yang lain.

Salam dari Edinburgh

Baca Juga:

Trip ke Old Trafford Bagian Pertama

Mimpi Nonton Manchester United

Perjalanan Ke Barat

Published by taroada

Engineer | Manunited Fans | Indonesia | Edinburgh

2 thoughts on “Trip ke Old Trafford : Bagian 2. Sopannya Penonton di Old Trafford

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

The Daily Post

The Art and Craft of Blogging

WordPress.com News

The latest news on WordPress.com and the WordPress community.

Dwiki Setiyawan's Blog

Pencerah Langit Pikiran

Tofan Fadriansyah

Just another WordPress.com weblog

%d bloggers like this: