Menangkis Pukulan Pandemi atas Industri Listrik

Oleh : Ahmad Amiruddin

(Diterbitkan di Detik.com, 13 Agustus 2020)

Tak pernah terbayangkan bahwa pada suatu hari di kehidupan modern ini pernah terjadi harga minyak menyentuh angka minus. Pada hari itu bisa diibaratkan minyak seperti limbah berbahaya yang tak bisa dibuang ke mana-kemana, dan pemilik minyak harus mengeluarkan ongkos supaya ada yang mau mengambil.

Bisa dikatakan, saat itu memiliki minyak adalah justru sebuah beban. Meski hanya berlangsung sehari, yaitu pada 20 April 2020, tapi peristiwa tersebut telah menampakkan wajah beringas dari pandemi bagi sektor energi.


Sektor energi adalah salah satu aktivitas ekonomi yang terhantam cukup telak oleh pandemi ini. Sub sektor minyak, gas, batu bara, dan listrik limbung karena permintaan berkurang. Hal tersebut disebabkan karena industri-industri mengurangi produksi, pusat bisnis dan perkantoran tutup, dan transportasi nyaris tak bergerak.


Meski ada sisi baiknya juga, pandemi ini membuat polusi berkurang; udara lebih bersih dan langit terlihat lebih cerah. Tapi, International Energy Agency memperkirakan bahwa dampak pandemi ini terhadap dunia energi tujuh kali lebih buruk dibanding krisis pada 2008-2009.

Ambil atau Bayar
Di tengah situasi yang tak menentu, maka perusahaan energi, termasuk perusahaan listrik, akan berusaha berakrobat. Sistem pasar listrik akan sangat menentukan bagaimana perusahaan listrik beradu dan berusaha lolos dari jebakan resesi dan kegagalan membayar utang.


Pada negara-negara dengan sistem pasar kelistrikan terbuka, maka yang menanggung kerugian adalah perusahaan pembangkitannya karena energi dipasarkan pada pasar komoditas yang mirip-mirip dengan pasar saham. Dengan permintaan yang rendah, otomatis pembangkit-pembangkit tak bisa beroperasi penuh sehingga biaya produksi meningkat. Financial Times melaporkan bahwa di Inggris terjadi penurunan permintaan hingga 14%, dan penurunan harga listrik di tingkat konsumen hingga 40% dibanding 2019. Rendahnya harga tersebut adalah pukulan yang cukup berat bagi perusahaan pembangkitan.


Untuk kasus di Indonesia dengan sistem bisnis kelistrikan yang monopolistik, maka yang menanggung risiko terbesar adalah PLN. Kontrak-kontrak PLN dengan perusahaan pembangkitan rata-rata adalah sistem take or pay. Artinya PLN berkewajiban menggunakan listrik dari pembangkit yang menyuplai dengan minimal serapan, misalnya 80%, jika pembangkitnya tersedia. Kalau tidak terserap, maka PLN harus membayar penaltinya. Sebaliknya, pembangkit juga harus memiliki ketersediaan saat PLN membutuhkan sehingga akan terkena penalti juga jika tidak mensuplai.


Dalam situasi dengan permintaan menurun seperti sekarang ini, artinya PLN berada dalam posisi berisiko membayar penalti dikarenakan tidak mampu menyerap semua daya yang disediakan oleh pembangkit yang telah berkontrak.
Kontrak take or pay sebenarnya bukan hal yang salah. Hal ini adalah praktik yang lazim terjadi karena investor harus meminta jaminan adanya kepastian pembelian jangka panjang. Sementara proyek kelistrikan dibiayai dari hutang yang telah memperhitungkan adanya jaminan tersebut.


Tapi yang tidak diprediksi adalah timbulnya pandemi yang sekarang merembet ke lesunya ekonomi dan menurunnya permintaan listrik. Padahal, selama bertahun-tahun permintaan listrik di Indonesia meningkat dengan sangat pesat dan menyentuh angka pertumbuhan di kisaran 5% per tahun. Dengan adanya pandemi ini, permintaan listrik menurun, bahkan bisa di angka minus di banding tahun sebelumnya, meskipun tetap ada peluang bertumbuh positif di beberapa daerah.


Pada masa pandemi, listrik menampakkan dirinya sebagai hal yang makin esensial. Transportasi dan pergerakan harus dibatasi, tetapi aliran elektron dari pembangkit sampai ke rumah-rumah harus dipastikan tetap andal dan terus-menerus. Seperti para tenaga kesehatan, pekerja perusahaan listrik juga tak boleh absen ke lapangan.Dalam situasi ini, listrik harus dijamin kualitasnya, karena masyarakat sangat menggantungkan interaksinya melalui jalur virtual yang memerlukan jaminan kualitas listrik.

Yang tidak kita sadari, penurunan permintaan tersebut tidak hanya menghantam pemasukan perusahaan listrik, tapi juga memberi tambahan risiko terhadap kestabilan sistem ketenagalistrikan dan pekerjaan ekstra bagi para operator pengatur beban.


Kita lihat peristiwa blackout yang terjadi di banyak negara, termasuk di Indonesia terjadi justru di saat permintaan listriknya rendah. Peristiwa blackout yang terjadi di Jawa Bagian Barat pada 4 Agustus 2019 justru terjadi di hari Minggu sore, bukan di hari kerja ketika permintaan sedang tinggi.


Menolong Dua Sisi


Pada awal masa pandemi, timbul gejolak di masyarakat mengenai kenaikan tagihan listrik. Kenaikan tersebut dipicu oleh perubahan pola kerja masyarakat yang sebelumnya lebih banyak berada di kantor atau di sekolah berubah menjadi di rumah. Saya sendiri mengalami kenaikan tagihan listrik 50% lebih tinggi dibanding sebelumnya akibat aktivitas berpindah ke rumah.


Namun demikian, kenaikan penggunaan listrik pada sebagian rumah tangga tidak mampu mengkompensasi penurunan permintaan di sektor industri dan bisnis, sehingga secara total permintaan listrik menurun di kisaran 10%.


Dalam situasi serba pelik ini pemerintah harus melakukan dua hal. Pertama, menolong masyarakat yang terdampak krisis dengan memberikan stimulus melalui pengurangan terhadap tagihan listrik. Kedua, menolong PLN yang juga mengalami hantaman krisis karena permintaan menurun yang otomatis menyebabkan penjualan juga menurun. Dengan menurunnya penjualan, maka pendapatan PLN akan berkurang sehingga kemampuan keuangannya menjadi terbatas.


Untuk menolong masyarakat yang rentan secara ekonomi, Pemerintah telah melakukan langkah-langkah pemberian stimulus. Pada tahap awal memberikan pembebasan pembayaran bagi pelanggan Rumah Tangga 450 VA dan diskon 50% untuk pelanggan 900 VA kategori tidak mampu yang berlaku mulai April sampai September 2020. Pemerintah juga memberikan diskon 100% tagihan listrik untuk konsumen bisnis kecil B1/450 VA dan Industri kecil 450 VA di periode Mei-Oktober 2020.


Selanjutnya baru-baru ini, pemerintah memberikan pembebasan ketentuan rekening minimum dan pembebasan biaya beban bagi beberapa pelanggan kecil golongan Sosial, Bisnis, dan Industri. Kementerian ESDM melaporkan, total stimulus pembebasan tagihan dan diskon selama masa pandemi yang dikucurkan adalah Rp 11,02 triliun.


Adapun tertekannya keuangan PLN, ini PR besarnya. Menurut hemat saya, PLN perlu untuk melakukan renegosiasi dengan para pengembang swasta (Independent Power Producer/IPP) mengenai minimum persentase energi dari pembangkitan yang harus diserap oleh PLN. Hal lainnya yang dapat dilakukan adalah menghentikan sementara proyek-proyek di bidang pembangkitan yang belum masa konstruksi dan perlambatan masuknya pembangkit-pembangkit yang sedang dalam pembangunan ke dalam sistem kelistrikan untuk mengurangi suplai berlebihan dan keharusan menyerap daya.


Renegosiasi ini diperlukan karena untuk kepentingan yang lebih besar. Diperlukan kelonggaran-kelonggaran sehingga bisnis kelistrikan dapat tetap berjalan dalam situasi yang sehat. Renegosiasi antara PLN dengan IPP adalah jalan yang sebaiknya dilakukan untuk menghindari semakin terbebaninya PLN, juga potensi dampak beban negara yang makin besar.


Kita ketahui bersama bahwa beban PLN adalah beban negara juga. Pemerintah bertanggung jawab terhadap selisih antara biaya pokok penyediaan tenaga listrik dan tarif yang diberlakukan kepada PLN. Jika biaya pokok penyediaan semakin meningkat dikarenakan semakin berkurangnya penjualan maka negara juga harus menanggung beban yang cukup besar.


Sistem subsidi dan kebijakan bisnis kelistrikan yang fully-regulated seperti ini adalah risiko dari jalan yang telah kita pilih. Di tengah situasi sulit, menolong masyarakat adalah hal yang sangat esensial, tapi juga membuat perusahaan listrik milik negara mampu tetap lancar berlayar di tengah badai juga sebuah keharusan.

Ahmad Amiruddin, M.Sc. ASN Kementerian ESDM; alumni MSc in Sustainable Energy Systems The University of Edinburgh, Skotlandia dan PhD Candidate Monash Unversity

https://news.detik.com/kolom/d-5131277/menangkis-pukulan-pandemi-atas-industri-listrik

Supra Fit, Sahabat yang Selalu Setia

“Motor kok masih Supra Fit, bro? Gantilah dengan dengan yang lebih keren”

Sudah biasa saya dengar ucapan miring itu. Mungkin sudah sejak sepuluh tahun saya mendengarnya. Tapi motor Supra Fit ini tak pernah berkhianat, dia tak pernah ingkar janji. Dia setia dan tak pernah mengecewakan, maka itulah hubungan kami awet.

Saya beli motor Supra Fit saya sekitar 14 tahun lalu. Saat itu saya masih kerja di sebuah pabrik tabung TV milik perusahaan Korea yang terletak di dekat pintu tol Cibitung, Bekasi.  Pabrik tersebut dulunya diresmikan Pak Harto, sempat jadi penguasa pasar. Tapi  seperti Pak Harto yang akhirnya lengser, beberapa tahun lalu pabrik tersebut sudah tutup, karena tak ada lagi yang mau menonton TV tabung.

Saat membeli motor itu, koperasi karyawan pabrik sedang kerjasama dengan distributor motor honda yang pabriknya tak jauh dari tempat kerjaku. Kami mendapatkan fasilitas mencicil motor dua belas kali, tanpa DP dengan harga miring. Waktu itu harganya sembilan jutaan, padahal di luaran harganya sebelas jutaan rupiah.

Meski sudah dibeli saya tak pernah menggunakan motornya ke Pabrik, karena perusahaan sudah menyediakan bis jemputan. Lagian naik bis jemputan pabrik lebih enak dan lebih seru, bisa sambil ngobrol dengan karyawati pabrik yang bau parfumnya selalu wangi saat berangkat dan saat pulang.

Saya resign sebelum cicilan motor saya habis, jadi saya lunasin begitu pindah kerja. Setelah pindah kerja itulah saya mulai pakai motornya. Pertama dari Bekasi ke Cikarang, lalu saya pindah ke Tangerang sang Supra Fit menemani saya dari Tangerang ke Pulo Mas ke tempat kerja saya yang lain. Kemudian saya pindah kerja yang terakhir sejak sepuluh tahun lalu, kembali menjadi teman saya dari Bekasi ke Jakarta setiap hari.

Motor ini juga telah menemani masa-masa romantis saya bersama istri selama empat tahun berkeliling Jabodetabek saat kami belum punya anak. Hingga kami punya anak tiga masih kadang-kadang kami pakai berlima untuk menikmati Bebek Goreng Slamet di akhir pekan. Meskipun sekarang sudah jarang karena anak-anak makin besar dan kami makin khawatir dengan keselamatan.

Saya menyaksikan dari periode 14 tahun itu, beberapa teman saya sudah ganti motor lebih dari 5 kali. Ada yang selalu update motornya menyesuaikan dengan model terbaru. Tapi saya bertahan dengan motor Supra Fit yang mungkin akan segera jadi barang antik.

Beberapa teman saya juga membeli Supra Fit di waktu bersamaan itu, tapi sekarang motornya sudah tidak jelas lagi. Sebagian sudah berkarat di makan usia, sebagian mungkin sudah berpindah tangan menjadi kendaraan dinas tukang antar galon.

Selama ini saya puas dengan pelayanan Supra Fit saya, meski tak bisa digeber lagi hingga kecepatan 100 kilometer per jam, tapi di jalanan Jakarta yang ramai, kecepatannya bisa stabil di range 70-80 km dengan maneuver yang gampang. Motor N-Max dengan stiker Komunitas Motor Besar N-Max kadang-kadang saya lewatin, karena mereka susah berbelok, apalagi kalau gaya kakinya kayak orang naik Harley.

Selain manuvernya yang gampang, motor ini juga irit banget. Dengan kapasitas mesin hanya 100 CC maka dengan modal 20 ribu rupiah sudah cukup untuk seminggu dengan jarak tempuh dari Rumah Saya di Bekasi ke Kuningan sekitar 15 kilometer. Kalau naik mobil setiap hari, ongkos transportasi bisa habis sejutaan sebulan. Dengan selisih uang tersebut anak saya bisa beli Yupi dan Chitato setiap hari, dan sisanya bisa ditabung buat jadi calon bupati beli Brompton.

Adalagi kelebihannya yang lain, mesinnya bandel. Seperti namanya, motor ini selalu fit. Suara mesinnya masih halus. Selama karirnya menjadi asisten saya, tak pernah sekalipun motor ini mogok di tengah jalan. Hanya pernah tiga kali harus didorong karena kehabisan bensin. Paling kalau ada masalah sedikit adalah ban bocor, itupun tak sering-sering banget, mungkin karena lingkaran bannya yang cukup besar dibanding dengan motor matic.

Hanya satu masalah motor Supra Fit ini, dan ini yang mungkin membuat orang menggantinya. Naik Supra Fit tidak bergengsi. Dia identik dengan motor-motor tukang antar galon, padahal itu menunjukkan kalau motor ini memang tahan banting.

Tak bisa dipungkiri, tunggangan kadang mempengaruhi pandangan orang terhadap orang lain, khususnya pada pandangan pertama. 

Sekitar 10 tahun lalu, ketika akan berpindah tempat tinggal dari Tangerang ke Bekasi, saya dan istri berboncengan melakukan survey mencari rumah yang bisa dikontrak.

Kami kemudian tiba di sebuah perumahan yang cukup megah. Pada saat akan mendekat gerbang saya lihat portalnya masih terbuka. Saya kemudian bertanya kepada satpamnya,

”apakah di dalam ada rumah yang dikontrakkan?”

Setelah saya bertanya, bukannya langsung dijawab, salah seorang satpam langsung menutup portalnya dan menjawab

“gak ada mas”

Saya sedikit kesal, karena sepertinya dia menutup portal karena melihat penampilan kami berdua. Seorang satpam lainnya mencoba menenangkan suasana, tapi justru memperjelas alasan kenapa portalnya ditutup.

“Gak papa pak, masuk aja, kemaren-kemaren juga ada yang survey cuman naik motor, besoknya langsung beli”

Saya semakin yakin portalnya ditutup justru karena saya naik motor, apalagi hanya naik Supra Fit.

Akhirnya kami membatalkan beli ngontrak rumah di kompleks sana.  Sekitar dua tahun kemudian, kami beli rumah di lokasi lain yang lebih sederhana. Dan lima tahun sejak peristiwa penutupan portal tersebut saya akhirnya bisa masuk dengan bebas kompleks tersebut karena dua anak saya sekolah TK di sana, masih dengan motor Supra Fit yang pernah kena embargo. 

Mungkin ada orang yang menyandarkan gengsinya pada apa yang ditungganginya. Mereka hanya akan percaya diri jika naik motor kelas tinggi atau mobil mewah.  Tapi tak bisa juga dipungkiri, memang ada juga orang yang menghargai orang lain karena kendaraannya. 

Pernah juga saya pakai motor Supra Fit saya ketika ditugaskan mengikuti rapat di hotel bintang lima, jangankan bisa masuk ke lobby, baru nyalain lampu sein mau belok aja udah disempritin oleh satpam. Bisa jadi motor yang lewat dianggap kendaraan yang mengganggu pemandangan lobby hotel yang resik dan mewah. 

Pernah suatu kali saya iseng bertanya kepada dealer motor dekat rumah. Saya tanya berapa harga kira-kira kalau motor saya saya jual. Dia menimbang-nimbang sebentar dan kemudian dengan muka penuh rasa bersalah dia bilang, 

“satu juta aja, bang?”

Saya terkejut mendengarnya, masak motor yang penuh sejarah ini dihargai hanya satu juta saja. Sejak saat itu saya tak mau menjual lagi motor saya, pada saatnya nanti ketika mungkin akan berpisah, saya akan menyerahkannya saja kepada orang yang tepat.

Kepada teman yang biasa menyarankan saya ganti motor, saya biasanya menjawab

“Sejatinya bukan apa yang kamu tunggangi, tapi apa isi dompetmu otakmu, itu yang lebih penting”

Jadi Penjaga Warnet

Di akhir masa kuliah saya, senior-senior di Ramsis, Kak Jarre’ Daeng Jarr, kak Sultan Syam, kak Iqbal Mukaddas mendirikan warnet. Warnet kala itu lagi menjamur di Makassar dan juga di Indonesia.

Para senior ini adalah alumni Teknik ’90 yang dulunya punya standplast di atas gedung Teknik Tamalanrea yang dinamakan Steam, senior team (edit steja anak mesin). Dan dari sinilah nama warnet tersebut berasal. Mereka sebenarnya super senior saya di Teknik. Panitia pozma saya yang paling jagoan sekalipun akan tunduk dan tabe’-tabe’ sama senior ini.

Mahasiswa jaman itu senang ke warnet cari bahan kuliah, belajar, baca 17tahundotcom, atau nonton gambar bergerak 18+. Penjaga warnet melakukan semua itu dan juga main MiRC, jenis medsos paling jadul yang pernah ada. MiRC dipakai buat cari jodoh, dan memang banyak yang dapat jodoh dari sana.

Kami di Ramsis diberi kesempatan untuk menjaga warnet di Steam Net. Saya, Andi Makkuradde N, Ukan, Sarjan Moeh, dan masih banyak lagi diberi waktu untuk jaga. Tentu kami dapat gaji dari Kak Jarre setelah jaga.

Lokasi warnet di jalan Oerip Sumiharjo, berdekatan dengam Apotik Maccini Farma dan warung Coto Maros yang enak. Sesekali kalau ke Makassar cobalah.

Pernah suatu malam, sambil jaga saya duduk di depan warnet, di atas motor GL Pronya kak Jarre. Tiba-tiba mendekat tiga pemuda tanggung.

“Ada interne’ di dalang?”

Syaraf saya langsung berdesir, logat dan tekanan suaranya sangat familiar. Saya teringat diri sendiri dan lebih-lebih teringat sahabat saya Ompe’.

“pasti dari Sidra’ ya?” kata saya

“iye, SMK Sidra’ lagi pe es ge”

“Wa cocokmi, sama darita, masukmaki'” kata saya.

**

Di lain waktu, suatu siang warnet sedang ramai. Tiba-tiba seorang mahasiwi yang lagi internetan, kayaknya anak ramsis putri, memanggil yang berjaga dengan suara panik. Anak ramsis putri memang suka teriak 😅😅. Beberapa orang tampak menonjolkan kepala dari balik pembatas karena penasaran. Dia tambah panik.

Saya mendekat, dia menunjukkan gambar laki-laki tanpa busana yang terus menerus muncul. Semakin di klik malah semakin banyak adegan. Dia klik tombol X malah makin banyak gambar tak senonoh yang muncul.

Saya mau ketawa, tapi takut menyinggung. Sementara dari bilik lain, terdengar suara menahan ketawa.

“Bukan saya yang buka” Katanya membela diri. Suaranya memelas, mukanya memerah. tangannya meraih ujung jilbabnya menutupi sebagian wajahnya.

“Sumpah”

“Iye, memang biasa begitu” kata saya

Mungkin dipikirnya saya bilang

“iye memang biasa ndak ada yang mengaku”

Dalam sekejap dia pergi, berusaha menyembunyikan dirinya dari pandangan pengunjung lain .

Padahal memang sebenarnya itu hasil bukaan yang masuk sebelumnya. Buka gambar begitu harus pintar membedakan tombol close sebenarnya dan jebakan. Tapi, itulah resikonya kalau lupa clear cache.

ceritaramsis

The Daily Post

The Art and Craft of Blogging

WordPress.com News

The latest news on WordPress.com and the WordPress community.

Dwiki Setiyawan's Blog

Pencerah Langit Pikiran

Tofan Fadriansyah

Just another WordPress.com weblog