Karena jumlah penghuninya yang ratusan bahkan mungkin ribuan orang dan tak berpagar, maka Asrama Mahasiwa (Ramsis) Unhas selalu disasar maling.
Celana yang direndam di kamar mandi bisa raib bersama embernya, apalagi yang ada di jemuran. Sepatu kadang juga hilang tanpa bekas, tanpa ada tanda-tanda pernah ada orang lewat.
Baju Nike cakar yang didapatkan dengan susah payah dengan menunggu “buka baru” dari karungnya di Pasar Rappang raib saat belum pernah dipakai ke kampus.
Kalau di Ramsis putra banyak kemalingan, apalagi di Ramsis putri. Sebagai blok yang secara geografis dan geopolitik berbatasan dengan Ramsis Putri kami berprinsip seperti Jepang di Perang Pasifik. Ramsis 2AB cahaya dan pelindung putri.
Tak heran, setiap ada kejadian pencurian, tim kamilah yang pertama hadir di lapangan saat ada teriakan dari putri. Kami terdepan ke lokasi, mungkin dari sanalah stasiun TV mengambil inspirasi.
Dalam suatu masa, sudah beberapa hari terakhir beredar desas desus ada pencuri berkeliaran di unit putri. Teman-teman memasang telinga jika ada teriakan.
Tiba-tiba dari Ramsis putri yang jaraknya sekitar 100meter, terdengar teriakan “Tolooong!!!, ada pencuri”
Teman-teman berlari secepat kilat menuju sana. Saya, Dindin, Anca’ dan Adde’.
Masih dalam keadaan berlari, dan sudah dekat putri seorang anak putri berteriak ke arah kami
“Bajunya merah maruun, lari ke sana”
Kami berempat berhenti, tanpa dikomando.
“Matimija, apami itu merah maruun” kata Dindin
kami garuk kepala sambil ketawa, lama berselang Adde menyela “macella mato kapang yaseng” (mungkin merah juga).
Kamipun berlari ke arah kebun singkong mencari si baju merah sesuai petunjuk anak putri. Tapi tak ketemu.
Akhirnya untuk menjaga kemanan, ketertiban dan kenyamanan Ramsis putri, kami ronda setiap malam di sekitar sana.
Bonusnya, ya disuguhi teh dan pisang goreng, dan tak kena jam malam di putri, yang kadang-kadang tiba-tiba menyiram dari lantai 2 jika di atas jam 9 malam masih ada putra di sana. Untung di mereka sih, bisa melihat kami setiap hari.
Sesekali juga sebagai penjaga keamanan putri, singkong yang ditanam security kampus sekitar ramsis putri kami cabut untuk direbus isinya, daripada pohonnya jadi tempat sembunyi pencuri. 😅😅.
Awalnya saya sebenarnya tak terlalu semangat ikut wisuda. Saya berpikir wisuda hanya ajang seremonial saja. Hanya pakai baju toga kemudian setelah itu apa? Saya harus menanggalkan segala kenyamanan jadi mahasiswa, sudah harus mulai cari kerja, dan sudah mulai argonya jadi pengangguran.
Tapi wisuda seseorang justru jadi sangat bermakna bagi orang terdekat dan orang disekelilingnya. Bapak, Ibu dan adik saya hadir mengantar.
Yang tak kalah semangatnya adalah teman-teman di asrama mahasiswa Unhas (biasa disingkat Ramsis Unhas). Teman-teman di Ramsis pasti akan hadir semua pada malam sebelum wisuda dan hari wisuda untuk mengantar ke Auditorium.Baruga Andi Pangerang Pettarani, sebut saja Baruga.
Anak ramsis punya tradisi mengantar wisudawannya ke Baruga. Setiap wisudawan harus ditandu oleh para warga dari Ramsis masuk ke depan panggung di Baruga.
Ditandunya harus sampai masuk ke dalam. Tak boleh turun hanya di pintu masuk. Setiap acara wisuda yang biasanya dua kali setahun selalu saja ada insiden wisudawan ramsis yang ditandu tertahan di pintu masuk oleh Satpam.
Tapi para pengusung akan malu kalau harus menurunkan wisudawan sebelum di dalam. Akhirnya yang biasa di bilang teman ke Satpam, “anaknya Pak Rektor ini mau wisuda.” Tapi setiap tahun selalu saja banyak “anak rektor” yang diwisuda, hehehe.
Malam sebelum acara wisuda, para warga se Rukun Teman (RT) akan mendekorasi tandu. Bahannya sederhana. Diambil dari kursi aset Ramsis yang biasanya sudah dipotong kakinya, ditambah dengan bambu untuk usungan dan kemudian di tempel kertas minyak kayak dekorasi agustusan.
Pada pagi harinya, tandu sudah disiapkan di depan asrama. Hal pertama yang dilakukan oleh warga blok kami adalah menunggu rombongan Ramsis putri lewat. Anak putri juga punya tradisi sendiri, mereka mendekorasi becak dan mengantar wisudawannya beriringan di belakangnga. Dekorasi mereka cantik-cantik. Kadang-kadang pakai musik kayak ngantar pengantin.
Setelah rombongan ramsis putri lewat kami menunggu Baruga ramai dulu baru berangkat. Kami tak boleh berangkat saat sepi, nanti tak ada yang menonton. Shownya jadi kurang terasa.
Rombongan mulai berangkat setelah dirasa ramai. Para pengusung ini biasanya rebutan ingin mengusung para wisudawan. Mereka ingin memberi kesan kepada para wisudawan. Ada yang sampai bela2in meninggalkan tugas koasnya di rumah sakit hanya untuk mengusung wisudawan yang jadi senior atau sahabatnya.
Jarak antara blok kami dengan Baruga Andi Pangerang Pettarani hanya sekitar 200 meter. Tapi keberangkatan mulai dari ramsis sepanjang jalan itu rasanya seumur hidup. Saya terus mengenang masa-masa itu.
Di pintu masuk kami ditahan satpam, tapi seorang senior sabuk hitam sudah mengamankan jalur, dan para pengusung saya berhasil menurunkan saya di depan panggung.
Sahabat2 seasrama menyelamati saya sebelum keluar, ada yang memeluk saya, beberapa orang sebenarnya belum mandi karena air selalu susah di ramsis. Tapi saya sangat terharu dan senang dengan keinginan mereka menjaga tradisi ramsis.
Saat acara wisuda, tali toga saya dipindahkan dan saya diselamati Pak Rektor Prof Rady A Gani (almarhum), seorang rektor murah senyum yang namanya selalu harum di kelompok tani di kebun bapak saya di Wajo.
Pak Rady sambil menyerahkan ijazah berkata “manami rambutmu, akhirnya selesaimako, di”. Dia kemungkinan tak mengenal saya, dan bisa jadi itu kata template yang sering almarhum ucapkan. Tapi senyumnya tulus.
Sepulang dari wisuda saya kembali ke ramsis. Begitu memasuki pekarangan asrama, sebuah lagu mengalun dengan keras dari kamar seorang kawan yang tadi menandu,
” Engkau sarjana muda, lelah mencari kerja, mengandalkan ijazahmu”
Jejeran tiang-tiang tinggi dengan tiga baling-baling serupa pisau runcing yang terpisah 120 derajat tampak anggun dari jauh. Sekilas putarannya nampak lebih pelan dibanding kipas angin, padahal itu karena diameternya yang sangat besar. Tinggi menaranya delapan puluh meter. Bilah pisaunya sendiri panjangnya 56 meter. Kalau kebetulan bilahnya itu tegak lurus ke atas, tinggi total menara dan bilahnya sudah hampir sama dengan Monas.
Setiap kali baling-baling itu berputar, suara menderu pergesekan angin dan bilahnya terdengar dengan jelas. Tak jauh dari sana, beberapa ekor sapi sedang memamah rumput dengan tenang.
Pemandangannya tak jauh beda dengan suasana alam Skotlandia. Tapi ini bukan di Eropa. suhunya tak dingin seperti di negara empat musim. Temperaturnya 32o Celcius. Sinar matahari juga tak kemerah-merahan seperti di belahan utara sana. Karena ini di Khatulistiwa, di kampung saya di Kabupaten Sidrap, di sebuah Desa Bernama Pabbaresseng.
Pabbaresseng artinya tempat beras. Bagi orang Bugis, pabbaresseng adalah benda keramat. Wadah yang tak boleh kosong. Boleh saja tak punya apa-apa, tapi pebberesseng harus selalu berisi. Karena prinsip itulah, Sidrap menjadi andalan utama penghasil beras di Sulawesi Selatan dan juga Indonesia Timur.
Tapi tak hanya jadi lumbung beras. Sesuai dengan nama desa tempat PLTB tersebut, tempat ini juga menjadi lumbung energi. Tempat energi disemai dan siap disalurkan. Dari Dusun Pabbaresseng tersebut Indonesia memproklamirkan dirinya siap mengedepankan Energi Terbarukan.
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) tersebut adalah PLTB pertama berskala besar di Indonesia, dan terbesar di Asia Tenggara, Kapasitasnya 75 MW. Kebun angin ini dapat melistriki 75.000 rumah tangga di Sulawesi Selatan.
Menarik melihat bahwa Sulawesi tidak saja menjadi tempat pertama dibangunnya PLTB berskala besar. Tapi juga, PLTB nomor duanya juga dibangun di Sulawesi Selatan, dengan telah beroperasinya PLTB Tolo di Jeneponto dengan kapasitas 72 MW.
Sistem Kelistrikan di Sulawesi secara garis besar terbagi dua yaitu, Sistem Sulawesi Bagian Utara (Sulbagut), yang menghubungkan transmisi di Provinsi Sulawesi Utara dan Gorontalo dengan kapasitas pembangkitan 581.95 MW. Sedangkan pada bagian selatan adalah Sistem Sulawesi Bagian Selatan (Sulbagsel) yang menghubungkan Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah dengan kapasitas pembangkitan 2.057 MW. Kedua PLTB tersebut memberi sumbangsih kapasitas pembangkitan sekitar 7.5% di sistem Sulbagsel.
Secara total, 30% bauran energi di Sulawesi berasal dari Energi Terbarukan dan sisanya adalah pembangkit fosil. Energi Terbarukan di Sulawesi berasal dari Panas Bumi (7,4%), Air (17,69%), Bayu (4,33%) dan Surya (0,12%). Proporsi tersebut jauh di atas rata-rata bauran energi terbarukan nasional yang masih 12% (Nurdin Pabi, PLN, 2020)
Tantangan
Seperti pabbaresseng yang tak boleh kosong dan selalu tersedia ketika diperlukan, sistem kelistrikan juga demikian. Pembangkit harus terus menerus tersedia saat diperlukan. Karena itulah pembangkit tidak serta merta baru dinyalakan ketika kita memencet remote TV. Dia harus sudah beroperasi sebelum kita memerlukannya.
Dengan pertimbangan itulah, diperlukan prediksi yang akurat jumlah listrik yang sekiranya akan dinyalakan oleh masyarakat saat tertentu. Sistem kelistrikan dijaga pada dua parameter utama yaitu frekuensi dan tegangan. Khusus untuk frekuensi, ditentukan oleh keseimbangan antara yang dibangkitkan dan yang diserap oleh masyarakat.
Frekuensi dalam sistem kelistrikan ini biasa digambarkan dengan orang yang naik sepeda tandem. Kecepatan kayuh harus selalu sama, dan juga bebannya harus seimbang dengan kekuatan kayuh agar sepeda tidak jatuh. Jumlah daya yang diproduksi oleh pembangkit harus seimbang dengan yang dibutuhkan oleh konsumen. Jika terlalu banyak yang disediakan bisa menyebabkan frekuensi pada sistem kelistrikan bergerak terlalu cepat, atau bisa juga menyebabkan naiknya ongkos produksi karena tidak terserap oleh sistem kelistrikan.
Sebaliknya, jika permintaan terlalu tinggi namun yang tersedia oleh pembangkit tidak mencukupi maka bisa terjadi frekuensi sistem melambat, semacam sepeda yang kelebihan beban. Ibarat sepeda tadi, sistem bisa jatuh yang berakibat padam total pada sistem kelistrikan.
Dengan pembangkit konvensional, lebih mudah mengatur sistem kelistrikan karena hanya harus menyesuaikan dengan beban, sementara pembangkitnya sendiri tidak memiliki variabilitas yang tinggi.
Menjadi tantangan kalau pembangkitnya adalah PLTB, karena kecepatan angin sangat bervariasi dan tidak bisa diatur. Alamlah yang menentukan kecepatan angin tersebut. Kita hanya bisa memprediksi berdasarkan data-data historikal yang dimiliki. Sayangnya data inipun masih sangat terbatas kita miliki, khususnya pada lokasi-lokasi yang spesifik.
Dengan semakin besarnya proporsi pembangkit yang memiliki intermitensi maka tantangan tersebut makin berat. Di sistem Sulawesi bagian selatan, proporsi PLTB sudah cukup signifikan yang pernah mencapai sekitar 10% dari sistem. Tak ada sistem kelistrikan besar di Indonesia yang proporsi pembangkit intermitennya sebesar itu. Tapi Sistem Sulawesi berhasil bertahan melewati tantangan tersebut.
Belajar dari Sulawesi
Integrasi Pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) khususnya yang sifatnya berubah-ubah ke dalam sistem kelistrikan yang terjadi di Sulawesi bisa dijadikan sebagai batu pijakan untuk melakukan hal serupa di sistem yang lebih besar seperti di Jawa Bali dan Sumatera,
Sebagai sebuah laboratorium, ada beberapa pelajaran penting yang bisa kita tarik dari keberhasilan di Sulawesi.
Pertama, Keberanian untuk memulai. Daerah khatulistiwa bukanlah tempat favorit dibangunnya PLTB. Beberapa tahun lalu dosen mata kuliah Wind Energy saya di University of Edinbugrh, Colin Anderson, menyatakan bahwa tak banyak potensi di sekitar equator yang bisa dimanfaatkan. Tapi beberapa hari lalu saya bertegur sapa secara daring dan dia sangat terkesan ketika saya informasikan bahwa di Indonesia telah ada dua PLTB berkapasitas besar yang juga adalah terbesar di Asia Tenggara.
Bukan tanpa alasan sebenarnya dosen saya mengatakan itu. Coba kita buka peta potensi angin dunia di globalwindatlas.info. Dari peta tersebut akan diperlihatkan secara global potensi angin pada tiap negara.
Tangkapan layar globalwindatlas.info
Peta tersebut menunjukkan perbedaan warna antar lokasi dimana warna yang terang artinya kecepatan anginnya rendah dan warna merah cenderung gelap kecepatan anginnya tinggi. Dari peta tersebut terlihat bahwa daerah khatulistiwa, termasuk Indonesia, relatif berwarna terang sehingga kecepatan anginnya rendah.
Namun kalau kita kulik lebih jauh ternyata di balik warna terang tersebut terdapat daerah yang berwarna merah. Dan itulah yang dilakukan oleh pengembang PLTB Sidrap, PT UPC Renewables Indonesia. Mereka berani memulai, dan sebagaimana sebuah hal pertama, pasti akan lebih sulit dan lebih menantang dibanding kalau sudah terbiasa.
Dari peta di atas terdapat beberapa tempat lagi yang masih bisa dipanen anginnya yaitu di daerah Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Selain potensi energi angin, Indonesia juga diberi keberkahan banyak potensi Surya karena matahari bersinar sepanjang tahun. Pada daerah-daerah yang tidak kencang anginnya, atau tidak tersedia sumber energi panas bumi atau air, dapat memanfaatkan energi surya.
Total potensi energy surya di Indonesia adalah 207,8 GW, lebih dari cukup untuk melistriki seluruh Indonesia yang saat ini total kapasitas pembangkit nasional adalah 65.8GW. Sementara itu, energi surya yang dimanfaatkan baru sekitar 0,14 GW atau 0.02% dari potensinya (EBTKE, 2019).
Keberanian untuk memulai ini yang telah dilakukan di PLTB Sidrap, perlu dicontoh dan dikembangkan ke sumber energi lain seperti surya, ditambah lagi adanya tren biaya pembangunan PLTS juga mengalami penurunan setiap tahunnya.
Kedua, toleransi terhadap risiko. Pengambilan keputusan untuk memulai PLTB beskala besar bukan tanpa risiko. Terhadap sistem kelistrikan pasti ada pengaruhnya, ditambah lagi data-data forecasting masih sangat muda dan seringkali berbeda dengan kenyataan di lapangan. Risiko-risiko teknis tersebut bisa berakibat kepada ketidaksetabilan sistem kelistrikan atau bahkan mengalami blackout. Namun risiko ini dapat dikelola dengan baik oleh PLN sehingga tidak terjadi kejadian pemadaman yang diakibatkan oleh terintegrasinya pembangkit besar tersebut ke dalam sistem kelistrikan.
Risiko lainnya adalah harganya yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan pembangkit konvensional. Pada saat penandatanganan perjanjian jual beli tenaga listrik antara PLN dan Pengembang PLTB pada 2015, absorbsi risiko ini menjadi tanggungan pemerintah melalui skema “subsidi” kepada PLN sehingga dimungkinkan harga pembelian dari PLTB Sidrap lebih tinggi dari biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkitan setempat. Sebagaimana dikutip oleh Kumparan bahwa harga pembelian listrik PLTB Sidrap adalah 11 Sen atau sekitar Rp1.463/kWh sementara BPP di Sulawesi Selatan saat itu Rp. 1.050/kWh.
Namun sejak tahun 2017, dengan semangat untuk menekan tarif listrik yang dibebankan kepada masyarakat, telah terbit Peraturan Menteri ESDM nomor 50 Tahun 2017 yang mengamanatkan harga pembelian dari Pembangkit EBT harus lebih rendah dari Biaya Pembangkitan setempat. Sebagaimana dilaporkan oleh Kementerian ESDM, sejak terbitnya peraturan tersebut belum ada lagi kontrak kontrak/Power Purchase Agreement (PPA) pembangkit IPP yang proses pengadaannya mengikuti ketentuan tersebut.
Akan tetapi, angin segar terhadap energi terbarukan kembali dihembuskan oleh Kementerian ESDM dengan adanya rancangan peraturan yang baru. Sesuai dengan yang disampaikan oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam forum International Energy Agency, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memajukan energi terbarukan dengan menerbitkan Peraturan Presiden yang mengatur harga jual dari pembangkit energi terbarukan. Peraturan tersebut akan kembali membuka opsi sistem feed in tariff yang jauh lebih menarik bagi investor.
Dengan bersedianya operator dan juga pemerintah untuk mengambil risiko mendorong PLTB yang berakibat kepada naiknya risiko teknis dan juga lebih tingginya harga pembelian dibanding BPP setempat dapat memacu para pengembang energi terbarukan untuk berlomba-lomba membangun pembangkit berbasis EBT.
Ketiga, keinginan untuk belajar. Sebagai PLTB berkapasitas besar pertama di Indonesia tentu dibutuhkan penyesuaian dan peningkatan kompetensi dari para profesional yang menanganinya, terutama pada pengatur penyaluran ketenagalisrtrikan. Operasi sistem ketenagalistrikan pasti banyak tantangan, namun tantangan tersebut memberi banyak kesempatan untuk belajar, baik PLN maupun pemerintah.
Yang menggembirakan adalah Capacity Factor (CF) dari PLTB di Sidrap dan Jeneponto adalah telah lebih tinggi dari rata-rata global masing-masing 40,7% dan 43,6% (Furqan Idris, PLN, 2020). Nilai Capacity Factor tersebut juga menunjukkan bahwa secara finansial harga pembelian PLTB dapat lebih kompetitif di masa datang. CF secara global untuk PLTB di daratan (onshore) berada di angka 34% (IRENA, 2019).
Sampai saat ini, pengatur beban di Sistem Sulawesi masih terus belajar dan berusaha untuk mengambil pelajaran berharga dari terintegrasinya pembangkit intermiten dalam sistem tersebut. Sementara itu, Pemerintah belajar harus menyesuaikan aturan jaringan yang dapat menunjang terintegrasinya pembangkit EBT ke dalam sistem kelistrikan.
***
Kita masih memiliki PR besar untuk mengejar target EBT sebesar 23% di tahun 2025. Pelajaran dari Sistem Sulawesi dapat menjadi batu loncatan untuk memperbesar proporsi Energi Terbarukan khususnya dari Pembangkit yang sifatnya intermiten yaitu PLTB dan PLTS.
Diperlukan terobosan-terobosan untuk memacu makin masif dan majunya EBT di Indonesia. Yang terjadi di Sulawesi bisa menjadi contoh yang baik yang dapat digunakan di bagian lain di Indonesia.