Liburan : Mamuju

Peta Sulawesi Barat
Peta Sulawesi Barat

Sudah lama saya ingin berkunjung ke Mamuju, bersilaturrahmi dengan kakak saya Nanni yang bekerja disana. Anda tahu Mamuju kan? Bagi yang kurang familiar, Mamuju adalah ibu kota propinsi Sulawesi Barat, sebuah propinsi baru hasil pemekaran Sulawesi Selatan. Sulawesi Barat terdiri dari kabupaten Mamuju, Mamuju Utara, Majene, Polewali serta Mamasa.

Kesempatan itu datang pada saat libur lebaran. Tanggal 1/10 sayapun berangkat ke Mamuju. Dari Makassar saya berangkat naik bus LITHA dengan tarif 125 ribu rupiah. Bus ini cukup eksklusif dilengkapi dengan toilet dalam dan ruang yang lapang antar kursi, terdapat penyangga kaki buat yang suka selonjoran, serta selembar selimut untuk menemani tidur dan menahan hawa AC dari bus. Kata orang, ke Mamuju itu harus siap untuk merasakan mabuk darat, karena  banyak tikungan menjelang masuknya Kota Mamuju. Karena trauma itulah, istri saya yang pernah tinggal di Mamuju tak ikut bersama saya.

Dengan berat hati dia tak bisa ikut. Saya hanya berangkat bersama dengan adik saya yang paling bungsu, Uli. Uli sudah beberapa kali ke Mamuju, dia sudah cukup siap untuk menemani saya. Sebelumnya di Tahun 2001 saya pernah sampai Majene, tapi jalur perjalanan ke Majene tak berliku dan biasa-biasa saja. Kali ini saya harus lebih siap mental, sehari sebelumnya dalam ‘tes’ perjalanan ke Soppeng tak ada masalah melewati tikungan di Camba dan Bulu Dua.

Bus berangkat sekitar pukul 20.00 malam, beberapa penumpang nampak  akrab satu sama lain, sepertinya mereka sudah saling mengenal. Mereka bercengkerama dengan dialek yang khas Mamuju, bagi saya mirip dengan dialek kawan saya dulu di Asrama Mahasiswa (Ramsis) Unhas yang berasal dari Mambi, yang kini jadi bagian dari Kabupaten Mamasa.

Sedikit saya cerita kawan saya di Asrama tersebut. Namanya Bayanuddin, kami memanggilnya Bayao. Dia adalah salah satu mahasiswa yang memperjuangkan berdirinya Propinsi Sulawesi Barat. Dia begitu bersemangat bercerita tentang propinsi baru ini nantinya akan seperti apa jika telah berdiri, dan dia akan menjadi apa dalam pemerintahan yang baru nanti. Sayangnya Bayao ketinggalan kereta, ketika Sulbar telah berpisah dari Sulsel, dia masih berkutat dengan kuliahnya yang tak kelar-kelar hampir satu dekade. Masalah lain menghampiri kampungnya Mambi yang tak pernah bisa menerima harus bergabung dengan Mamasa, setelah Kabupaten Polewali Mamasa dipecah menjadi masing-masing kabupaten sebagai bagian dari berdirinya propinsi Sulawesi Barat. Alasannya, secara kultural, historis, dan agama Mambi berbeda dengan Mamasa, dan dijaman dahulu orang Mamasa adalah orang yang “menumpang”, yang berasal dari Tana Toraja yang tinggal di dataran tinggi yang kini disebut Mamasa. Pemekaran daerah memang memiliki banyak dimensi dan motivasi, ada motivasi mensejahterakan daerah, tapi juga tidak sedikit motif yang melingkupinya adalah semangat untuk mendapatkan posisi baru, dan mengambil keuntungan pribadi sebagai elit dipemerintahan.

Kembali ke bus. Karena perjalanan malam, saya tak bisa menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Jalur yang dilewati bus adalah menyusuri pantai barat sulawesi, yaitu dari Makassar – Pare Pare -Pinrang – Polewali – Majene – Mamuju. Saya tertidur dalam perjalanan dari Makassar – Pare Pare, terbangun ketika di Pinrang karena jalanannya terasa bergelombang, kemudian tertidur lagi hingga subuh, dan shalat subuh di daerah Malunda. Selepas shalat subuh dan sang fajar menyingsing, telah nampak sisi gunung yang akan dilewati. Bagi saya rugi kalau tak melihat  pemandangan sepanjang jalan yang tersisa. Itulah awal malapetaka bagi saya, ternyata jika perjalanan sudah pagi artinya sudah mendekati Mamuju, dan itulah tikungan-tikungan terberat dalam perjalanan. Ketika saya mulai berbalik kiri kanan melihat sisi gunung, mata saya mulai berkunang-kunang dan perut terasa mual, Uli berkata, “jangan liat jalannya, tutup mata”, dia berusaha untuk menutup mukanya karena takut terpengaruh. Tapi terlambat saya sudah sangat mual dan saya memuntahkan air yang terminum semalam, tak ada sedikitpun makanan, setelah tiga kali mengeluarkan isi perut, bus ternyata sudah masuk ke Terminal Mamuju. Syukurlah penderitaan itu tak berlangsung lama. Kami tiba di terminal jam 07.30 pagi, perjalanan total 11.5 jam telah ditempuh.

Turun dari bus saya masih merasa tak enak badan, berusaha untuk menghirup udara segar dan memandang berkeliling. Mamuju dilingkari oleh gunung di satu sisi dan laut di sisi lain, hawanya terasa sejuk. Tapi setiap kali melihat ke arah gunung rasa pening saya bertambah, masih terpengaruh ketika di bus. Sampai di rumah saya istirahat sekitar sejam, dan berkeliling ke beberapa bagian kota Mamuju dengan sepeda motor, nampak sekali bahwa kota ini sedang membangun, hampir disetiap jalan, terlihat rumah yang sedang dibangun. Harga jual rumah  dan sewa rumah di Mamuju tak mengikuti logika umum seperti di Makassar atau di Jakarta, untuk harga rumah yang sama dengan di Jabotabek, harga sewa rumah di Mamuju lebih tinggi. Sebagai contoh untuk di Jakarta biasanya harga sewa rumahadalah 5% dari harga rumah pertahun, jika harga rumah type 42 adalah 140 juta maka sewa pertahunnya adalah 6.5 s/d 8 juta rupiah. Sedang di Mamuju, dengan type yang sama harga rumah 100 jt, bisa disewakan dengan harga 12 juta. Trend ini dimulai ketika Mamuju mulai menjadi ibukota propinsi.

“Kontrak rumah disini tak masuk akal” kata kakakku,

“Harga kebutuhan pokok juga begitu, asal sebut saja para pedangang itu kayaknya”.

Fenomena harga kontrakan ataupun kosan yang melambung biasanya memang terjadi pada daerah-daerah yang baru berkembang. Ketika saya berkunjung ke Sangatta ibu kota Kutai Timur, sayapun mendapati fenomena harga kontrakan dan kosan yang tinggi, tapi bagi saya itu cukup masuk akal, Sanggatta menggantungkan roda perekonomiannya pada pertambangan batubara KPC, sehingga jumlah pendatang disana banyak, dan kemungkinan tinggalnya tidak permanen. Disamping itu, harga kebutuhan pokok juga tinggi karena sebagian besar kebutuhan pokok didatangkan dari luar Kutai Timur.

Saya shalat jum’at di masjid Raya mamuju, jaraknya tak terlalu jauh dari rumah, saya dan kakak ipar naik sepeda motor ke masjid. Ketika sampai kakak ipar saya memarkir motornya di sekitar mesjid, tanpa kunci stan. Ketika saya tanya kok tidak dikunci, katanya bahwa Mamuju masih aman, tak perlu mengunci motor. Mamuju masih tempat yang aman.

Malam harinya kami mengunjugi Losari-nya Mamuju, tempat jajanan Kaki Lima di pinggir Pantai Mamuju. Sebagian besar makanan yang tersedia adalah Nasi Goreng, Bakso dan Mie Pangsit. Penjualnya adalah orang Jawa. Sambil menikmati debur ombak dari Selat Makassar, saya menikmati semangkok Mie Pangsit, harganya saya tak tahu karena dibayarkan. Tapi kata kakak saya untuk seporsi makanan dengan harga 10 ribu di Makassar bisa seharga 20 ribu di Mamuju, alamak…

* * *

Pagi harinya saya terbangun dengan segar, hawa sejuk terasa. Kami bersiap menuju ke Kali Mamuju, tempat wisata orang-orang Mamuju. Perjalanan dari rumah sekitar 20 menit dengan naik motor, 10 tahun lalu kata istri saya kalau mau ke Kali Mamuju harus dengan jalan kaki, pemekaran punya dampak positif juga, jalanan menuju Kali Mamuju beraspal dan tanpa lubang. Dalam perjalanan kami berpapasan dengan banyak pemikul Durian, dan Makan durian itulah yang sebenarnya menjadi daya tarik Kali Mamuju. Jika anda tak sanggup makan banyak durian, maka ke Kali Mamuju lah. Kok bisa? karena ternyata makan durian disana diselingi dengan berendam di sungai dengan air jernih dan sejuk. Ketika perut sudah mulai panas, maka dengan berendam di kali maka panas itu bisa berkurang. Di sekitar kali juga banyak penjual durian, hanya saja jika tak pintar-pintar menawar para pedagang durian biasanya menjual dengan tarif lebih mahal, kata kakak saya ” mereka sukanya asal sebut saja”. Harga perbiji durian 15 ribu rupiah, padahal kalau beli dipasar harganya bisa setengahnya bahlan lebih murah lagi. Saya puas-puasin makan durian sambil berendam, meskipun banyak juga yang mandi dan mencuci di Kali tersebut, tapi tak cukup signifikan untuk mengotori kejernihan air. Tak seperti warna sungai di Tangerang yang coklat.

****
Saya hanya 2 hari di Mamuju. Saya pulang hari sabtu malam, dengan berbekal satu tablet Vit B6 dan CTM, obat anti muntah dan obat tidur agar tak malu-maluin dalam perjalanan. Begitu Bus mulai jalan, sayapun menutupi muka, berusaha untuk tidur dan memancing CTM bekerja. Saya selamat, tertidur hampir sepanjang perjalanan.

Sepulang dari Mamuju saya kepikiran untuk membuat kos-kosan di Mamuju. Biaya pembangunan tidak terlalu mahal tapi harga sewa tinggi. Cukup dengan membuat 10 petak kosan, dengan harga sewa 5 juta pertahun, bisa menikmati passive income yang besar, berminat berinvestasi di Mamuju?

Advertisement

Published by taroada

Engineer | Manunited Fans | Indonesia | Edinburgh

8 thoughts on “Liburan : Mamuju

  1. Been in Mamuju once. Sebenarnya perjalanan ke Mamuju itu indah kalau berangkat pagi. Apalagi pas melewati Majene, banyak pantai2 cantik yang bisa dinikmati.

    Waktu itu tahun 2007, dan jalanan ke Mamuju memang belum bagus, tapi nggak tahu sekarang. Semoga jalannya sudah di aspal mulus lus lus 😀

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

The Daily Post

The Art and Craft of Blogging

WordPress.com News

The latest news on WordPress.com and the WordPress community.

Dwiki Setiyawan's Blog

Pencerah Langit Pikiran

Tofan Fadriansyah

Just another WordPress.com weblog

%d bloggers like this: