Di sebagian cat yang mulai mengelupas itu ada jejak tangan saya. Paling tidak di bagian back ground yang berwarna agak cream itu ada goresan tangan saya.
Lambangnya dibuat koleh Dahlan di coreldraw, kemudian kita buat versi besarnya di dinding itu. Jaman2 itulah semua lambang Lab Bawah dibuat. Asisten Lab Bawah adalah kumpulan orang-orang hebat di jamannya. Kata orang begitu, atau anggap saja begitu,setidaknya di lapangan bola.
Hari ini saya berkesempatan meliat lagi bangunan dan lorong-lorong yang menemani selama kuliah di Teknik Unhas. Sehabis bermain bola dengan alumni Teknik di lapangan 1.
Saya melewati lapangan ex-arsitek yang rumputnya meninggi, sore2 kadang dulu main di sana, selain di bagian barat teknik yang banyak pohonnya. Saya ingat ada dua pohon di lapangan barat, dan hanya teman saya Appie yang bisa membuat gentar pohon itu kalau lagi bawa bola.
Saya kemudian berbelok melewati depan rektorat menuju bekas Fakultas Teknik. Di area yang berbatasan dengan rektorat ini dulunya adalah Teknik Area, dengan banyak spanduk dan lambang tengkorak bertebaran. Fakultas lain saya yakin ingin berjalan cepat-cepat di area ini.
Tapi sekarang teknik area sudah tak ada lagi. Kumpulan anak muda dengan hormon testosteron meluap2 itu sudah berpindah ke Gowa. Sekarang Tamalanrea punya penguasa baru. Kabarnya anak MIPA, setelah hengkangnya anak Teknik. Saya kemudian melewati Plazgoz, tempat anak teknik dulu berkumpul dan membuat spanduk kegiatan.
Lapangan Merah yang sudah tak merah
Spanduk tersebut biasanya diambil tengah malam dari ruas jalan protokol di Makassar, diblok dengan cat hitam kemudian ditulisi Teknik Area atau digambar tengkorak. Kami banyak membantu tugas Satpol PP mengurangi spanduk yang tidak bayar pajak.
Agak ke dalam ada lapangan merah. Lapangan dengan tanah merah, dan semakin merah saat penerimaan mahasiswa baru. Sekarang diisi dengan paving blok. Tak ada lagi lapangan merah. Tak ada lagi prosesi penerimaan maba yang berdarah-darah dan penuh kekerasan. Alhamdulillah.
Sambil berdiri di lapangan merah saya membayangkan suasana 20an tahun lalu. Seluruh senior teknik berdiri sambil berteriak dengan kencang dan memukul-mukul tiang.Penuh membludak dari lantai 1 hingga lantai 4. Penuh tekanan. Banyak yang menyerah dan pergi.
Setiap lantai ini dulunya berdasarkan jurusan. Lantai 1 Sipil, Lantai 2 Mesin dan Lantai 3 & 4 Elektro
Sekarang Teknik sudah tak ada lagi di Tamlanrea. Lantai 3 tempat kami dulu bercengkerama sambil menunggu asistensi sudah berisi jurusan lain. Sementara Unhas semakin menua. Usianya sudah 65 tahun.
Dia adalah penjuru perguruan tinggi Indonesia Timur. Kesanalah anak-anak timur merantau. Dari Bima, Sumbawa, Lombok, Ambon, Buton, Halmahera, Papua, semua merantau dan menyatu di sini.
Unhas adalah patokan pergerakan mahasiswa jaman dulu. Jika Tamalanrea bergerak, maka lonceng dibunyikan, tiang dipukul dan jas merah akan turun membanjiri jalanan. Semoga Unhas bisa berkokok kencang, tidak hanya di Timur, tapi juga membangunkan dunia. Selamat Dies Natalis Unhas.
Gigi BapakKalau ada tindakan Bapak yang paling disesalkan Mama’ saya, maka masuk dalam urutan teratasnya adalah ketika dia memutuskan mencabut seluruh giginya dan mengantinya dengan gigi palsu, padahal giginya sebagian besar masih bagus. Mama’ saya mengamuk, laki-laki tampan itu tiba-tiba kehilangan sebagian pesona setelah rahangnya mengendur akibat tak ada yang menopang. Padahal garis rahangnya yang simetris membuat beberapa orang membandingkannya dengan artis jaman dulu, entah siapa.
Sebenarnya kenaifan Bapak tidak hanya terkait giginya yang dia cabut karena rayuan seorang family yang memberinya diskon, dia pernah membeli sawah 1 hektar yang tak pernah dimilikinya, membeli beragam barang elektonik bekas karena rayuan teman dominonya, atau tak pernah menolak sales yang naik ke rumah. Setiap dia melakukan tindakan itu, Mama’ saya pasti muntab, tapi kami lebih sering tersenyum melihat tindakannya.
Dia memang begitu, tapi gigi ini adalah salah satu sumber omelan yang lama baru reda. Gigi bapak itu adalah teman saya selama menemaninya di Rumah sakit. Awal-awal dia minta giginya dibuka karena ternyata suplai oksigen membuat giginya kering, hingga susah dibuka.
Akhirnya saya pasangkan giginya hanya saat akan makan bubur, buah atau obat. Setiap selesai makan, giginya saya keluarkan, kemudian disimpan di sebuah mangkok berpenutup yang selalu harus diisi air. Gigi tersebut saya cuci, kemudian siap dipasang kembali setiap akan makan. Hingga kemudian di hari ke-6 dia tak bisa menahan giginya lagi, setiap saya pasangkan maka giginya akan jatuh lagi. Rahangnya tak bisa menahan gigi palsunya lagi.
Gigi tersebut tak pernah dipasang lagi setelahnya, pernah dia makan bubur, tapi buburnya saya encerkan. Setelahnya lagi bubur juga sudah tak mau beliau makan. Hanya air. Tapi kemudian airpun susah masuk, hanyak 2-3 sendok saja dia sudah menolak. Semangatnya naik saat akan dipindahkan ke RS Wahidin, dan sempat melambaikan tangan pada dokter, perawat dan keluarga yang mengantarkannya di gerbang RSUD.
Masih sempat saya kasih minum di perjalanan dari Pare2 ke Makassar, dalam goncangan ambulance yang melaju kencang, dan saya harap memang sekencang mungkin.
Saat akan masuk ke ruang IC RS Wahidin, giginya saya simpan dalam tas beserta mangkoknya. Dan saat almarhum berpulang, tas tersebut saya ambil dan masih saya temukan giginya di sana seperti sebelumnya.
Kemarin saya ambil giginya kembali, selain baju yang dipakainya saat di rumah sakit. Tak tega saya kubur atau buang giginya, saya alirkan di Sungai Tello, biarlah dia mengalir bersama kenangan bersama Bapak, mengalir jauh, menembus samudera.
Sejak kecil, saya selalu diajak ke sawah atau ke kebun. Kami menghabiskan waktu mencangkul, menyiangi tanaman, menanam pohon atau memamen buah. Dulu-dulu bisa setengah harian saya bersama Bapak di kebun.
Dia tak pernah lepas dengan parang saat ke kebun, air minum selalu tersedia karena dia suka minum banyak. Tangannya cocok dengan tanaman dan tanah. Pada tanaman dan tanah yang disentuhnya, keluar buah manis dengan hasil yang banyak.
Bapak sangat perhatian dengan pendidikan. Jadinya kalau saya lagi malas ke sawah atau ke kebun, saya ambil buku. Kalau dia lihat saya pegang buku, maka saya bisa bebas dari tugas mencangkul atau menyemprot tanaman yang bikin tulang punggung makin membengkok.
Aslinya Bapak saya bukan hanya petani. Profesi formalnya adalah Mantri. Hampir semua orang Kadidi jaman dulu disunat olehnya. Jadi bisa dibilang bahwa hampir semua orang Kadidi yang lahir, ada campur tangannya di situ. Rumah kami sudah biasa diketok jam 2 atau 3 subuh ada orang yang gawat karena muntah darah, diare atau nafas sesak. Bapak tetap akan keluar melayani, bersama motor GL 125 warna merahnya, menembus dinginnya malam bersama doa mama’ saya.
Motornya ini biasa saya pakai ke Rappang. Suaranya keras, dan sering dipinjam teman-teman hanya untuk mendengarnya meraung-raung. Dulu Bapak perokok sangat-sangat aktif. Rokoknya adalah Bentoel International, mungkin tak ada lagi rokok seperti itu. Dia baru berhenti merokok setelah pulang haji. Insya Allah dia haji mabrur karena ada perbedaan antara sebelum dan sesudah haji. Rokok itu juga memberi jejak pada parunya.
Saat saya SD saya selaku Ranking satu, tapi tak pernah ada hadiah. Tiba-tiba pada saat saya kelas 4 atau kelas 5, Ranking 1 di kelas saya dapat hadiah bolpoin tinta mirip punya pak kepala sekolah, Pak Saade Tapa, yang diserahkan saat penyerahan rapor. Dan saya tentu yang dapat hadiah tersebut. Saat saya lewat di depan ruang guru, saya mendengar ucapan “ada-ada saja Pak Amir menyediakan hadiah, kenapa anak kecil dikasih pulpen begitu” Oalah ternyata itu adalah hadiah dari Bapak, tapi dibuat seolah-olah dari sekolah.
Bapak paling senang cerita ke saya kalau dia habis mimpi melihat saya terbang di awan. Anakku nanti akan terbang tinggi katanya. Di usia pensiunnya Bapak berhenti menyuntik, tak ada lagi aktifitas itu. Dia fokus ke 3 hal, sawah dan kebun, ibadah dan hubungan sosial. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di kebun. Bisa berbulanan dia tinggal di rumah kebun di Siwa. Dalam suasana penuh damai. Tapi sejak 2018, Bapak terkena kanker prostat.
Dan dimulailah kami diingatkan bahwa Bapak saya makin tua. Saya sendiri yang ambil hasil labnya bahwa prostatsnya cukup parah.Tapi hasil treatmennya sangat bagus, dia kembali sehat bersemangat dan selalu gembira.Namun, sejak awal tahun ini kanker prostatnya kambuh lagi, dan mulai rutin konsuk ke RS Wahidin.
Dan hari itupun tiba. Apa yang kami khawatirkan terjadi. Bapak loyo tidak bisa berdiri. Adik saya mengabarkan. Saya ke Kadidi di hari keduanya, mendapatinya sudah keliatan lebih baik, bisa berdiri dan minta dicarikan coto. Saya belikan coto di Rappang dan kita makan bersama. Itulah makan bersama Bapak yang terakhir kali.
Sorenya dia makin loyo, bahkan terjatuh saat mencoba berdiri. Akhirnya keesokan harinya kami sekeluarga memutuskan untuk di rawat di RS Andi Makkasau Pare-Pare, hari itu hari minggu, 1 Agustus. Kebetulan di RS Pare-Pare ada kakak ipar saya dokter Muli dan suaminya dokter Kahar yang ahli penyakit dalam. Setelah diperiksa dan discreening awal di IGD bapak positif COVID-19 dan harus dirawat di ruang isolasi.
Dan harus ada yang menemani. Sebagai anak laki-laki, sehat, sudah divaksin dua kali, maka saya yang menemani Bapak. Itu artinya saya diisolasi juga bersama Bapak, tidak boleh keluar dari ruangan covid. Makan dan minum di sana. Sayalah yang kemudian menemani Bapak. Mengganti popoknya, membersihkan Buang airnya, menyuapi, menyimpan gigi palsunya dan kemudian tambahan lagi ikut mengawasi dan mengatur saturasinya.
Saya juga bertugas mengabarkan kepada keluarga kondisi Bapak setiap harinya, agar mereka tenang dan masalah tak jadi tambah runyam. Makin hari bapak membutuhkan suplai oksigen yang makin tinggi flownya, awalnya 5L/menit, terus 10L, 15L, 40L dan terakhir 50L. Kadang-kadang dia agak gelisah, apalagi setelah dipasang kateter. Kalau dia agak gelisah, saya lumuri minyak kayu putih kakinya, badan dan hidungnya. Kalau dia agak tenang saya putarkan video bukutangkis, atau video Youtube bersama cucunya di Siwa.
Saat malam hari adalah malam2 panjang, karena bisa jadi tiba2 oksigennya menurun dan saturasinya ikut turun. Untungnya banyak bantuan dari dokter dan perawat. Di lain pihak, saat menemani Bapak, saya disuplai oleh keluarga dari keluar. Mereka ikutan repot juga. Masa-masa eksklusif melayani Bapak di ruang isolasi adalah masa yang paling saya syukuri dalam hidup ini. Hari ke-6 dan ke-7 belum ada perbaikan, akhirnya diputuskan Bapak dirujuk ke Infection Center RS Wahidin Makassar.
Dalam perjalanan dari Pare-Pare ke Makassar sangat menengangkan buat saya karena, oksigen menipis ditambah ternyata dalam ambulans biasanya orang tidak nyaman. Namun, kami tiba di RS Wahidin dengan selamat dan Bapak langsung ditangani. Qadarullah bapak hanya dua hari bertahan di sana. Dia berpulang pada tanggal 8 bulan 8 Pukul 8 malam.
Dalam banyak perjalanan treatment, perawatan dan pemakaman almarhum kami sangat dibantu oleh banyak pihak. Keluarga yang selalu support, dokter dan perawat RS Andi Makkasau, juga RS Wahidin Makassar, serta sahabat saya Ibu Wawali Makassar Fatmawati Rusdi yang memfasilitasi ambulans dari Makassar ke Sidrap. Kami ucapkan terima kasih atas bantuan semua pihak.
Juga kami mohon maaf jika almarhum memiliki kesalahan, mohon dibukakan pintu maaf.
Bapak sudah berpulang, tapi dia masih ada di buah-buah duriannya yang manis, pada bunga cengkeh yang harum, pada pematang2 sawah, pada matahari yang memanggang kulit petani dan pada orang tua yang selalu bertekad memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Selamat jalan pak. Senyumki, maafkan anakmu ini.