Hikayat Tukang Cukur

Ingatan pertama saya tentang cukur adalah kenangan buruk. Ketika akan akan masuk SD, saya diantar oleh Bapak ke tukang cukur profesional pertama di Kampung, Nene’ Jama (Kakek Jama).

Peralatan Nene Jama lengkap. Praktiknya di bawah kolong rumah panggung. Dia punya clipper. Tentu saja clippernya saat itu belum pakai listrik. Hanya mengandalkan gerakan tangan. Karenanya agak sakit kalau menyentuh kepala. Tapi bukan itu masalahnya.

Setelah beberapa lama clipper mulai mencukur dari belakang, tiba2 seperempat rambut sebelah kanan saya sudah habis. Setelah itu seperempat sebelah kiri juga licin, tersisa hanya sedikit rambut segi empat di depan.

Tanpa persetujuan. Saya telah dicukur model bandang-bandang. Bandang2 adalah kue khas bugis berbentuk segiempat. Cukur model adeknya cuplis. Saya menangis sejadi-jadinya. Tapi orang dewasa hanya tertawa dan malah tambah meledek. Saya tak mengerti, kenapa anak SD harus bercukur model itu. Mungkin kalau pak Harto sempat ke Kadidi jaman itu, saya akan menanyakannya.

Setelahnya saya tak lagi mau dicukur model begitu. Nene Jama meninggal di usia saya SD, dan dimulailah periode tukang cukur saya adalah para relawan yang hanya dibayar senyuman dan terima kasih.

Dimulai dengan Bu Yayang, tetangga kanan rumah saya, yang juga guru SD di sekolah saya. Kadang2 juga Kak Unding, adeknya. Pangkasnya hanya dengan gunting dan sisir.

Agak besar, di usia SMP dan SMA, meski masih sering dipangkas sama kedua orang baik tersebut, saya lebih sering dicukur sama Beddu. Pemuda dekat lapangan bola Kadidi. Anak muda biasanya memang minta bantua dia. Kami biasanya dicukur menghadap lapangan, sambil menonton bola.

Masa-masa di Kampung, memang banyak yang gratis. Tak banyak tersedia tukang cukur. Juga tak ada cukup anggaran hanya untuk potong rambut. Semuanya adalah swadaya.

Kalau masa2 sekarang banyak yang pulang kampung karena kota tak lagi ramah, tak lagi ada tempat berjualan, tak ada lagi orang datang membeli atau meminta jasa. Maka kampunglah satu2nya tempat kembali. Masih banyak hal yang tak harus dibeli di Kampung. Masih banyak kelor, jantung pisang, ubi, mangga, ayam, telur bebek yang bisa saling berbagi.

Saat kuliah, saya memanjangkan rambut selama 2-3 tahun. Jadi di awal2 tak pernah potong rambut.

Kemudian setelah masa gondrong habis, mulailah masa rutin potong rambut. Karena saya tinggal di Ramsis, maka stok tukang cukur banyak. Ada 3 syarat prioritas masuk Ramsis kala itu, bisa main bola, main gitar, atau bisa cukur rambut. Langganan saya adalah Haris Kotala, sahabat asal Maluku. Saya hanya cukup meyediakan kepala dan satu buah silet. Kalau ada cukup uang maka bisa memberi Indomie siap santap.

Setelah sekolah saya selesai, maka mulailah saya berkenalan dengan tukang pangkas profesional asal Garut di Jabotabek ini.

Saat tinggal di Poris Tangerang, saya langganan sebuah pangkas rambut yang dikelola engko2. Saat akan mencukur saya sudah menjelaskan maunya yang kayak Bradd Pitt hasilnya. Tapi, setiap saya pulang istri saya pasti ngeledek. Hasilnya kok jelek gitu.

Hingga suatu hari dia penasaran, kenapa hasil cukur saya mengenaskan, dia ikut ke kios itu. Dan dia kemudian berkesimpulan, pantasan hasilnya kayak gitu, karena tukang pangkasnya selalu meniru rambutnya engko nya. Saya perhatikan memang rambut saya mirip. Sama2 berdiri, keras dan kuat.

Sejak itu, setiap kali saya pulang dari tukang pangkas, dia selalu bilang, mirip engko2. Bahkan sampai kami pindah ke Bekasi. Tak ada tukang cukur yang cocok seleranya.

Kemudian saya sekolah ke Edinburgh. Saya menyesal tak potong rambut sebelum berangkat, karena ongkosnya lumayan mahal. Bisa buat beli sekilo daging domba, kentang, wortel dan bumbu kari India di Toko Bismillah di Nicholson street.

Jadinya saya menunda2 hampir 8 bulan baru cukuran. Dan akhirnya ketika saya cukuran, cukup dalam saya harus merogoh kocek untuk ukuran mahasiswa. Tapi untuk pertama kalinya istri saya tak bilang, cukurnya mirip engko2 Poris. Sayapun senang.

Waktu kami kembali. Di depan kompleks mulai buka tukang pangkas baru. Judulnya Pangkas rambut Gunawan. Hanya dia sendiri di kiosnya. Jam bukanya semaunya dia. Kadang sudah ditungguin tidak muncul2. Kata istri saya mungkin pulang kampung menikah. Kalau berdasar itu saya hitung2 udah dua puluh lima kali dia menikah.

Kawan ini, hasil cukurnya mantap. Itu sudah pengakuan istri saya, yang saya tahu seleranya tinggi, yang terbukti dalam memilih suami #uhuk. Makanya saya hanya mau dicukur Gunawan ini.

Tapi sudah lebih lima minggu Gunawan hilang. Sudah pasti bukan karena pulang menikah. Tapi karena pandemi ini bikin orang takut ke tukang cukur. Daripada dia tinggal tanpa uang dan tanpa pelanggan, kampungnya di Garut akan memberinya jaring pengaman dan mengamankan perutnya dari kelaparan.

Dan, jadilah saya mendapatkan tukang cukur terbaik berselera tinggi ini sekarang. Untuk ketiga kalinya dia bilang ada tukang cukur yang bagus hasilnya. Setelah yg di Edinburgh, Gunawan dan sekarang dirinya sendiri.

Sekarang kami punya cukup modal untuk sekolah lebih lama lagi di luar, sudah ada tukang cukurnya. Mudah2an setelah korona.

*O, Iya terima kasih untuk semua tukang cukur saya

Published by taroada

Engineer | Manunited Fans | Indonesia | Edinburgh

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

The Daily Post

The Art and Craft of Blogging

WordPress.com News

The latest news on WordPress.com and the WordPress community.

Dwiki Setiyawan's Blog

Pencerah Langit Pikiran

Tofan Fadriansyah

Just another WordPress.com weblog

%d bloggers like this: