Oleh : Ahmad Amiruddin
Beberapa waktu lalu, listrik di Sulawesi Selatan mengalami pemadaman bergilir akibat dari kerusakan di PLTU Jeneponto. PLTU Jeneponto merupakan pembangkit listrik milik swasta PT Bosowa Energy yang menjual listriknya kepada PT PLN (Persero). Kondisi tersebut menyebabkan PLN harus melakukan pemadaman karena defisit mencapai 175 MW.
Kejadian mati listrik sangat berpengaruh secara langsung terhadap roda perekonomian. Industri terpaksa mengurangi jam produksi, perkantoran terpaksa harus mengurangi penggunaan pendingin ruangan yang menggangu kenyamanan karyawannya, demikian pula hotel-hotel yang harus menggunakan pembangkit sendiri untuk memenuhi kebutuhannya. Dari kejadian tersebut, muncul ide dari sebagian warga agar PLN diswastanisasi atau listrik diswastakan. Ide tersebut bahkan disampaikan oleh Walikota Makassar sebagaimana dikutip oleh beberapa media online.
Bisakah listrik dikelola swasta?
Bisnis Listrik di Indonesia
Menurut Undang-Undang nomor 30 Tahun 2009 tentang ketenagalistrikan, usaha ketenagalistrikan terbagi dua jenis, yaitu Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (usaha penyediaan) dan Usaha Penunjang Tenaga Listrik (usaha penunjang). Usaha penyediaan dapat dibagi dua jenis lagi yaitu usaha penyediaan tenaga listrik untuk umum dan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri. Sementara, usaha penyediaan tenaga listrik untuk umum mencakup jenis usaha pembangkitan, transmisi, distribusi dan penjualan. Keempat jenis usaha penyediaan tenaga listrik tersebut dapat dilakukan secara terintegrasi atau terpisah.
Untuk dapat melakukan penjualan kepada konsumen, badan usaha harus memiliki usaha penjualan dan penetapan wilayah usaha. Hanya satu badan usaha yang dapat melakukan usaha penjualan dalam satu wilayah usaha. PLN melaksanakan usaha penjualan tenaga listrik kepada konsumen secara terintegrasi dan memiliki wilayah usaha pada hampir semua wilayah Indonesia. Sebagai BUMN, PLN diberikan kesempatan dan prioritas pertama dalam pengelolaan ketenagalistrikan nasional.
Terkait dengan ide agar listrik diswastanisasi untuk meningkatkan pelayanan dapat dibaca sebagai protes dari masyarakat terhadap seringnya mati listrik dan tidak adanya pilihan dari penyedia lain seperti halnya pada telekomunikasi. Rezim yang dianut dalam pasar listrik di Indonesia adalah monopoli pada sisi penjualan kepada konsumen dan secara umum monopsoni (pembeli tunggal) pada sisi pembangkitan. Jadi, penjual utama listrik kepada konsumen adalah PLN dan pembeli listrik dari pembangkitan adalah PLN. Karena sifatnya yang monopoli tersebut, maka harga pembelian listrik dari pembangkitan dan tarif yang dikenakan kepada konsumen ditetapkan oleh Pemerintah.
Suplai listrik dari pembangkitan secara umum terbagi atas dua jenis, yang dimiliki oleh PLN dan yang dimiliki oleh swasta atau Independent Power Producer (IPP). IPP menjual listrik kepada PLN berdasarkan Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik atau Power Purchase Agreement (PPA).
Pengalaman Listrik Non-PLN
Penjualan listrik oleh non-PLN kepada konsumen bukan baru di Indonesia. Sebagaimana dikutip oleh Tribun Lampung (13/04/2011), Koperasi Listrik Sinar Siwo Mego pernah memiliki 72 ribu pelanggan di tiga Kabupaten/Kota yaitu Kota Metro, Kabupaten Lampung Tengah, dan Lampung Timur. Namun, sejak 2011 izinnya dicabut karena pengelolaan yang tidak baik dan akhirnya konsumen harus diambil alih oleh PLN setelah melalui jalan negosiasi yang panjang dan berliku.
Sementara itu di Lombok Timur, sembilan kecamatan menggunakan listrik dari Koperasi Sinar Rinjani sejak Tahun 1982 ketika PLN belum ada. Namun pada tahun 2006 terjadi unjuk rasa besar-besaran masyarakat yang menuntut dialihkan menjadi konsumen PLN. Pelanggan pada daerah tersebut akhirnya juga diambil alih oleh PLN.
Ada contoh lain yang relatif berhasil mengelola listrik dan dapat bertahan yaitu PT Cikarang Listrindo di Bekasi dan PLN Batam (anak perusahaan PT PLN (Persero) di Kota Batam. Perusahaan-perusahaan tersebut memiliki wilayah usaha sendiri dan tarifnya ditentukan oleh Pemerintah Daerah setempat atas persetujuan DPRD.
Jika dibandingkan kedua pengalaman tersebut, perbedaan yang cukup mencolok adalah karakteristik golongan konsumen yang dilayani. Pada kasus Sinar Siwo Mego dan Sinar Rinjani, mayoritas dari konsumennya adalah rumah tangga, sementara Cikarang Listrindo dan PLN Batam penjualannya sebagian besar untuk konsumen industri yang memang kebutuhan listriknya sangat besar. Pelanggan rumah tangga membutuhkan subsidi yang cukup besar, sementara pada kasus Sinar Siwo Mego dan Sinar Rinjani kurang mendapat dukungan subsidi dari Pemerintah setempat.
Contoh lainnya adalah pengelolaan listrik oleh PLN Tarakan di Kota Tarakan. Seperti PLN Batam, PLN Tarakan juga tidak mendapatkan subsidi dari Pemerintah Pusat. Konsumen PLN Tarakan juga menuntut pengembalian ke PLN akibat seringnya mati listrik di kota tersebut.
Tantangan lain dengan pembagian wilayah usaha pada wilayah yang setingkat kota atau provinsi, maka penetapan tarif dan pemberian subsidi kepada konsumen yang tidak mampu menjadi tanggung jawab pemerintah setempat, sehingga pemerintah daerah harus menganggarkan alokasi khusus untuk subsidi, terkecuali ada subsidi silang antar pelanggan yang bisa juga berdampak semakin tingginya tarif listrik pada golongan tertentu.
Penetapan tarif juga menjadi sangat politis di daerah. Contohnya saja, tarif listrik konsumen rumah tangga PLN Batam belum berubah sejak 2009 dan sangat jauh dibandingkan dengan tarif PT PLN (Persero) dan saat ini tarifnya belum ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi Kepualauan Riau. Hal tersebut ditengarai akibat suhu politik yang memanas menjelang Pilkada sehingga pemerintah mengulur waktu untuk menghindari kebijakan yang kurang populer. Akibatnya PLN Batam terpaksa melakukan langkah penyelamatan keuangan dengan menjadi pihak “swasta” yang menjual listrik kepada PT PLN (Persero) di Kepulauan Riau yang berada di luar wilayah usaha PLN Batam.
Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM nomor 28 Tahun 2012, wilayah usaha dapat ditetapkan jika 1) wilayah tersebut belum terjangkau oleh pemegang wilayah usaha yang sudah ada; 2) pemegang wilayah usaha yang sudah ada tidak mampu menyediakan tenaga listrik atau jaringan distribusi dengan tingkat mutu dan keandalan yang baik; 3) pemegang wilayah usaha yang sudah ada mengembalikan sebagian atau seluruh wilayah usahanya kepada Menteri ESDM.
Sesuai dengan peraturan tersebut, swasta dapat saja melakukan usaha penjualan tenaga listrik jika telah memiliki wilayah usaha. Sebagai BUMN, PLN merupakan prioritas pertama yang dapat memiliki wilayah usaha. Di Sulawesi Selatan, wilayah usaha adalah milik PLN, sehingga jika ingin dikelola pihak lain maka PLN harus mengembalikan dulu wilayah usahanya kepada pemerintah dan kemudian baru dapat diserahkan oleh pemerintah kepada pihak lain atau pemerintah menganggap PLN tidak mampu menyediakan listrik dengan tingkat mutu dan keandalan yang baik.
Dari uraian diatas, sebagai penutup, kondisi bisnis listrik dan peraturan yang ada di Indonesia memungkinkan untuk dikelola swasta, dengan catatan hanya pada daerah dimana PLN belum mengalirkan listrik ke daerah tersebut. Saat ini tercatat 2500 desa di daerah pinggiran yang belum terlistriki, dan PLN hanya menyanggupi untuk melistriki 500 desa, sementara 2000 desa masih terbuka peluangnya untuk swasta. Untuk kota besar seperti Makassar, pengelolaan listriknya sudah menjadi wilayah PLN dan tak mungkin dapat dikelola swasta, kecuali PLN mengembalikan wilayah usahanya, tetapi kemungkinan tersebut sangat kecil terjadi.